Selasa, 04 April 2017

Peranan dan Kedudukan Pemerintah Kelurahan dalam Meningkatkan Kualitas Otonomi Daerah


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karna berkat dan bimbingannyamakalah yang berjudul “PERANAN DAN KEDUDUKAN PEMERINTAHAN KELURAHAN DAN PEMERINTAHAN KELURAHAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS OTONOMI DAERAH” ini dapat diselesaikan.
Makalah ini selain bertujuan untuk melaksanakan tugas yang diberikan dosen, juga bertujuan untuk memperkaya pengetahuan kita dalam memahami peranan dan kedudukan pemerintahan kelurahan dalam meningkatkan kualitas otonomi daerah..

Akhir kata tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, memberikan informasi dan inspirasi serta kepada siapa saja yang berkenan memberi perhatian khusus pada makalah ini, semoga apa yang ditulis berguna bagi kita semua.

                                                                         Pematangsiantar, 30 November 2016

                                                                                                Penyusun

Widia Ratnasari Samosir
                 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN
1.      Harapan.............................................................................................................4-7
2.      Kenyataan........................................................................................................8-19

BAB II: PEMBAHASAN
1.      Teori Otonomi Daerah...................................................................................20-43
2.      Teori Tentang Kelurahan Dan Desa..............................................................44-59
3.      Teori Pembangunan Daerah.........................................................................60-65
4.      Teori Kesejahteraan.......................................................................................66-76
5.      Teori Ekonomi Daerah...................................................................................77-81
6.      Teori Pembangunan.......................................................................................82-90

BAB III: PENUTUP
1.      Kesimpulan..................................................................................................91-106
2.      Saran..........................................................................................................107-108
3.      Daftar Pustaka..................................................................................................109
BAB I
PENDAHULUAN

1.      HARAPAN

      Program instansi tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak dari program instansi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat. Melalui suatu pengukuran kinerja, keberhasilan suatu instansi pemerintah akan lebih dilihat dari kemampuan instansi tersebut.
      Berdasarkan sumber daya yang dikelolanya untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah dituangkan dalam perencanaan strategis. 
            Banyaknya komentar masyarakat tentang keberhasilan dan ketidakberhasilan instansi pemerintah dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya menunjukkan harapan dan kepedulian publik yang harus direspon. Namun, antara harapan masyarakat terhadap kinerja instansi pemerintah dengan apa yang dilakukan oleh para pengelola dan pejabat pemerintahan sering berbeda.
            Artinya, terjadi kesenjangan harapan (expectation gap) yang bisa menimbulkan ketidakharmonisan antara instansi pemerintah dengan para direct users dari masyarakat .
            Expectation gap merupakan kesenjangan yang terjadi karena adanya perbedaan antara harapan masyarakat dengan apa yang sebenarnya menjadi pedoman mutu manajemen suatu organisasi yang menyediakan layanan publik. Hal ini sebagai akibat dari belum adanya sistem pengukuran kinerja formal yang dapat menginformasikan tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah.
            Para pengelola pemerintahan sering mempunyai anggapan bahwa ukuran keberhasilan suatu instansi pemerintah ditekankan pada kemampuan instansi tersebut dalam menyerap anggaran.
            Jadi, suatu instansi dinyatakan berhasil jika dapat menyerap 100% anggaran pemerintah walaupun hasil maupun dampak yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut masih berada jauh di bawah standar.
             Keberhasilan ini hanya ditekankan pada aspek input tanpa melihat tingkat output maupun dampaknya. Sementara masyarakat mengharapkan keberhasilan instansi pemerintah adalah tindakan nyata yang bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
            Pada era reformasi saat ini, fenomena pengukuran keberhasilan yang hanya menekankan pada input seperti di atas banyak mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak.
            Oleh karena itu dipertimbangkan untuk memperbaiki indikator keberhasilan suatu instansi pemerintah agar lebih mencerminkan kinerja sesuangguhnya.
            Dalam modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dijelaskan bahwa tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah harus memperhatikan seluruh aktivitas.
             Tingkat keberhasilan harus diukur tidak semata-mata kepada input dari program instansi tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak dari program instansi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat. Melalui suatu pengukuran kinerja, keberhasilan suatu instansi pemerintah akan lebih dilihat dari kemampuan instansi tersebut berdasarkan sumber daya yang dikelolanya untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah dituangkan dalam perencanaan strategis. 
       Tugas pemerintah seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Ø  Melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia
Ø  Memajukan kesejahteraan umum
Ø  Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ø  Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
       Tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat adalah:
Ø  Menjaga keamanan dan ketertiban
Ø  Meningkatkan taraf hidup rakyat
Ø  Pemerataan pembangunan
Ø  Menyediakan sarana perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain-lain
Ø  Membangun dan memelihara lingkungan hidup yang sehat
Ø  Menyediakan bahan pangan, sandang, dan sarana hiburan yang terjangkau oleh masyarakat
Ø  Memelihara anak terlantar dan membantu fakir miskin.
Pemerintah telah memberi identitas baru atas pilihan pembangunan ekonomi yang harus diambil. Pada isi Nawacita, sekurangnya tafsir itu terpapar di tiga cita, yakni membangun dari pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi.
Jika dibenturkan dengan konsep ekonomi pembangunan, ”Tricita” tersebut berteduh dalam pohon teori ”struktural”.
Istilah ”pinggiran” (periphery) adalah frasa populer untuk membenturkan dengan negara/wilayah ”pusat” (center) dalam tradisi Marxianeconomics.
Demikian pula, terma ”ekonomi rakyat” dan ”kemandirian ekonomi” lekat dengan konsep yang bersinggungan dengan mazhab tersebut, seperti yang kerap diteriakkan oleh Samir Amin ataupun Fernando Henrique Cardoso (tentu dengan istilah yang tak sepenuhnya persis).
Inilah babak baru yang secara sadar diayak pemerintah setelah mengamati secara jeli watak pembangunan (ekonomi) Indonesia sepanjang 70 tahun seusai kemerdekaan.
2.KENYATAAN
PEMERINTAH TIDAK BEKERJA KERAS UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
            Tema besar yang diusung oleh Pemerintah untuk APBN 2010 adalah “Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat”. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, tema ini menyenangkan, memberi harapan, dan bahkan memberi kesan seolah persoalan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan selesai pada tahun dicanangkannya tema tersebut. Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya yang selalu ada jarak lebar antara tema dan realitas yang dibangun, maka muncul pertanyaan apakah hal yang sama juga akan terjadi pada tahun 2010:
            Bahwa tema tidak sebangun dengan politik anggaran yang diselenggarakan negara, dari tingkat perencanaan, alokasi, hingga implementasi di lapangan. Keraguan tersebut setidaknya bisa dikemukakan dalam beberapa konfirmasi berikut ini:
  1. Rancangan anggaran yang disampaikan oleh pemerintah tidak menjamin sama sekali akan terjadi pergerakan ekonomi riil yang dilaksanakan masyarakat. Belanja, subsidi, dan stimulus fiskal tidak memberikan dorongan bagi tumbuhnya perekonomian riil masyarakat. Sebagai penikmat terbesar ketiga kebijakan tersebut adalah orang kaya dan atau pihak asing.
  2. Tekanan pertumbuhan ekonomi masih hanya difokuskan pada tingkat konsumsi dan sebagian besar disokong oleh fiskal antara lain melalui mekanisme belanja gaji. Kebijakan ekonomi tidak mendorong bagi kuatnya daya beli masyarakat, sehingga pertumbuhan yang disampaikan oleh pemerintah tidak benar-benar terjadi atau semu belaka.
  3. Pemerintah tidak memperhatikan sektor profesi yang sebagian besar digeluti oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terutama dalam pertanian dan kelautan (nelayan). Pemerintah juga tidak mendukung bagi tumbuhnya industri kecil yang sehat yang merekrut banyak pegawai. Sebagian besar kebijakan negara adalah memfasilitasi tumbuhnya industri besar yang sebagian besar saham dimiliki pihak asing dan hanya merekrut sedikit pegawai, sambil mematikan usaha kecil dan menengah yang merekrut jauh lebih banyak karyawan.
  4. Pemerintah masih hanya melayani jajaran pegawai pemerintahan, sambil tidak fokus memperhatikan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri 5% yang notabene merupakan kelanjutan dari kenaikan gaji 15% pada tahun sebelumnya, dan itu dilakukan kepada semua pegawai, sebenarnya bukan merupakan usulan yang strategis. Kenaikan ini tidak memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Di tengah buruknya kinerja pelayanan dan perhatian pada tumbuhnya perekonomian dan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, justru para pegawai negeri mendapat tambahan penghasilan. Argumen penataan birokrasi melalui kenaikan gaji merupakan simplifikasi dari problem birokrasi yang demikian akut. Selain itu, kenaikan ini memicu inflasi yang berdampak buruk pada sebanyak-banyaknya anggota masyarakat.
  5. Pemerintah tidak cukup serius menghitung kapasitas fiskal dan memberikan pagu besar kepada bidang strategis yang mendukung pertumbuhan ekonomi riil dan kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Namun, yang terjadi justru kapasitas fiskal yang rendah, yang ditandai oleh defisit besar, semakin dihamburkan oleh kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri. Selain itu, bidang-bidang pertahanan yang selama ini selalu mendapat disklaimer dari BPK mendapat kenaikan yang sangat besar. Sementara itu, pelayanan dasar dan tunjangan sosial kepada masyarakat, baik secara langsung dalam bentuk tunai maupun pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan cenderung menurun.
  6. Pemerintah juga masih mengandalkan utang sebagai tumpuan pembiayaan atas defisit yang disebabkan inefisiensi dan penghamburan gaji. Tahun 2010 utang dalam negeri diperbesar dan mengurangi utang luar negeri. Namun, meskipun mengurangi rasio utang terhadap PBD, tapi tidak ada kaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Membesarkan utang dalam negeri juga berarti pula menambah beban yang disebabkan bunga utang yang lebih tinggi.

            Keraguan tersebut setidaknya bisa dikemukakan dalam beberapa konfirmasi berikut ini:
  1. Rancangan anggaran yang disampaikan oleh pemerintah tidak menjamin sama sekali akan terjadi pergerakan ekonomi riil yang dilaksanakan masyarakat. Belanja, subsidi, dan stimulus fiskal tidak memberikan dorongan bagi tumbuhnya perekonomian riil masyarakat. Sebagai penikmat terbesar ketiga kebijakan tersebut adalah orang kaya dan atau pihak asing.
  2. Tekanan pertumbuhan ekonomi masih hanya difokuskan pada tingkat konsumsi dan sebagian besar disokong oleh fiskal antara lain melalui mekanisme belanja gaji. Kebijakan ekonomi tidak mendorong bagi kuatnya daya beli masyarakat, sehingga pertumbuhan yang disampaikan oleh pemerintah tidak benar-benar terjadi atau semu belaka.
  3. Pemerintah tidak memperhatikan sektor profesi yang sebagian besar digeluti oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terutama dalam pertanian dan kelautan (nelayan). Pemerintah juga tidak mendukung bagi tumbuhnya industri kecil yang sehat yang merekrut banyak pegawai. Sebagian besar kebijakan negara adalah memfasilitasi tumbuhnya industri besar yang sebagian besar saham dimiliki pihak asing dan hanya merekrut sedikit pegawai, sambil mematikan usaha kecil dan menengah yang merekrut jauh lebih banyak karyawan.
  4. Pemerintah masih hanya melayani jajaran pegawai pemerintahan, sambil tidak fokus memperhatikan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri 5% yang notabene merupakan kelanjutan dari kenaikan gaji 15% pada tahun sebelumnya, dan itu dilakukan kepada semua pegawai, sebenarnya bukan merupakan usulan yang strategis. Kenaikan ini tidak memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Di tengah buruknya kinerja pelayanan dan perhatian pada tumbuhnya perekonomian dan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, justru para pegawai negeri mendapat tambahan penghasilan. Argumen penataan birokrasi melalui kenaikan gaji merupakan simplifikasi dari problem birokrasi yang demikian akut. Selain itu, kenaikan ini memicu inflasi yang berdampak buruk pada sebanyak-banyaknya anggota masyarakat.
  5. Pemerintah tidak cukup serius menghitung kapasitas fiskal dan memberikan pagu besar kepada bidang strategis yang mendukung pertumbuhan ekonomi riil dan kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Namun, yang terjadi justru kapasitas fiskal yang rendah, yang ditandai oleh defisit besar, semakin dihamburkan oleh kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri. Selain itu, bidang-bidang pertahanan yang selama ini selalu mendapat disklaimer dari BPK mendapat kenaikan yang sangat besar. Sementara itu, pelayanan dasar dan tunjangan sosial kepada masyarakat, baik secara langsung dalam bentuk tunai maupun pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan cenderung menurun.
  6. Pemerintah juga masih mengandalkan utang sebagai tumpuan pembiayaan atas defisit yang disebabkan inefisiensi dan penghamburan gaji. Tahun 2010 utang dalam negeri diperbesar dan mengurangi utang luar negeri. Namun, meskipun mengurangi rasio utang terhadap PBD, tapi tidak ada kaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Membesarkan utang dalam negeri juga berarti pula menambah beban yang disebabkan bunga utang yang lebih tinggi.
PEMERINTAHAN DESA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN 
Desa yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat dan diwadahi oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, mempunyai tanggungjawab yang sangat berat, karena maju dan berkembangnya masyarakat desa tidak terlepas dari peran Pemerintah Desa.
Pemerintah Desa, yang terdiri dari Kepala Desa dan perangkat Desa yang merupakan unsur peneyelenggara pemerintahan Desa merupakan garda terdepan yang langsung berhadapan dengan masyarakat terutama dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat yang meliputi urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Kekhawatiran Terjadinya Penyimpangan
Salah satu tujuan dari penggelontoran Dana Desa sebagai salah satu pelaksanaan amanat UU Nomor 6/2014 adalah terlaksananya kegiatan pembangunan secara proporsional sehingga dapat meraih hasil yang optimal sesuai dengan harapan semua pihak yang dilandasi oleh pemberdayaan masyarakat guna menekan angka kemiskinan. Terciptanya pemerintahan desa yang profesional dan mandiri dan pemerataan pendapatan perkapita penduduk antara kota dan desa merupakan bagian dari tujuan penerapan UU tentang desa ini.
Desa sebagai ujung tombak keberhasilan pembangunan nasional diharapkan dapat menatakelola seluruh kegiatan pembangunan dengan baik. Walaupun demikian, karena berbagai keterbatasan kemampuan pengelolaan dan tingginya angka kebutuhan, memunculkan kekhawatiran. Sebagaimana setiap program pada umumnya, maka Dana Desa yang mulai digulirkan pemerintah pusat ke seluruh desa di Indonesia ini pun memunculkan berbagai tanggapan positif dan negatif. Kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya penyimpangan dana disuarakan oleh berbagai kalangan. Wanti-wanti dari berbagai pihak tersebut kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kepala desa dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan dana desa sesuai dengan kehendak UU.
            Pengalokasian dana desa yang cukup besar pada setiap desa yang dimulai tahun 2015 harus dikelola secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini menempatkan Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa.
            Besarnya tanggung jawab pengelolaan keuangan tersebut memerlukan peningkatan kapasitas atau kemampuan Kepala Desa dan perangkat desa mengenai pengelolaan keuangan desa. Sebaliknya, undang-undang Nomor 6 tersebut menempatkan masyarakat desa sebagai sasaran dan sekaligus pelaku pembangunan desa, dimana pemerintahan desa berperan sebagai penggerak pembangunan dan pemberdayaan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Maka yang menjadi tantangan pertama bagi pemerintahan desa saat ini adalah kesiapan untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) secara tepat, terukur dan transparan. (Kata Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi/Membangun Desa Radar Lombok 110615).
            Penggelontoran dana desa oleh pemerintah pusat membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mencermatinya. Demi antisipasi penyimpangan Dana Desa, maka diperlukan kajian dalam pengelolaan Dana Desa. Kajian ini merupakan bagian dari program, pencegahan KPK. Hasil pengkajian yang dilakukan sejak Januari 2015 telah menemukan 14 potensi persoalan pengelolaan Dana Desa pada 4 aspek, yaitu aspek regulasi dan kelembagaan, aspek tatalaksana, aspek pengawasan dan aspek sumber daya manusia.
Pada aspek regulasi dan kelembagaan, persoalan yang ditemukan antara lain belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri; formula pembagian Dana Desa yang tidak cukup transparan dan hanya didasarkan pada azas pemerataan; pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD kurang berkeadilan serta kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
Pada aspek tata laksana terdapat lima persoalan antara lain kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran sulit dipatuhi oleh desa; satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan dalam menyusun APBDesa belum tersedia; transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa masih rendah; laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.
Pada aspek pengawasan terdapat 3 potensi persoalan yakni efektifitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan masih rendah; saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik dan ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas. Sedangkan pada aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan, tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi memanfaatkan lemahnya aparat desa. (Kata Juru Bicara KPK/Aneka Radar Lombok 200615).
Dua ini saja sudah cukup menjadi pemicu dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pengelolaan keuangan pemerintahan desa. Yang pasti semua tentu berharap dana desa haruslah mampu memajukan desa, memelihara dan meningkatkan budaya kearifan lokal dan mampu memberdayakan masyarakat untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang merata.
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa,  masyarakat berharap pelayanan yang diberikan adalah yang terbaik dan optimal dari  pemerintah desa serta dituntut untuk dapat melaksanakan tugas, kewenangan dan kewajiban secara maksimal.
Namun di sisi lain, tugas dan tanggungjawab pemerintah desa harus pula diseimbangkan dengan hak pemerintah desa agar peran dan fungsi pemerintah desa dapat berjalan dengan baik. Bagaimana mungkin pemerintah desa dapat berperan dengan maksimal untuk memberdayakan masyarakatnya, kalau mereka sendiri sudah tidak berdaya.
Faktor keberdayaan pemerintahan desa, salah satunya dapat  dicerminkan dari sisi  keuangan desanya, dengan sumber pendapatan sebagai berikut :
ð Pendapatan Asli Desa;
ð Bagi hasil pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% diperuntukan bagi desa;
ð Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% setelah dikurangi belanja pegawai yang pembagiannya untuk Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (30% untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD, serta 70% untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat);
ð Hiba dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
(PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa)
Selanjutnya, sesuai dengan pasal 27 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, Kepala Desa dan perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Penghasilan tetap dan atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan setiap tahun dalam APB Desa dengan besaran paling sedikit sama dengan upah minimum regional.
Apabila 5 sumber pendapatan tersebut di atas telah diterapkan secara konsisten, maka harapan penghasilan tetap dan atau tunjangan Kepala Desa per bulan minimal sama dengan Sekdes PNS dan perangkat desa minimal sama dengan UMR bukanlah suatu yang sulit. Disamping itu pula percepatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa yang diimpikan akan lebih mudah dicapai.
Ada beberapa keunggulan jika sistem keuangan desa ini telah diimplementasikan dengan baik, antara lain :
ü  Pembangunan inprastruktur skala kecil dan kegiatan pemberdayaan masyarakat lainnya dapat diserahkan kepada desa (APB Desa);
ü  Penyediaan dana bergulir untuk usaha mikro di desa dapat diserahkan kepada desa (APB Desa);
ü  Biaya Pilkades dapat dibebankan kepada APB Desa;
ü  Penghasilan dan atau tunjangan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa dibebankan kepada APB Desa ;
ü  Biaya-biaya penyelenggaraan pemerintahan desa lainnya dibebankan kepada APB Desa.
Selama ini, sebagai contoh pembangunan/perbaikan jalan desa, irigasi desa, sarana pendidikan, dan kegiatan lainnya yang ada di desa dengan anggaran di bawah Rp 20 juta dianggarkan melalui SKPD tingkat Kabupaten. Penerapan sistem Keuangan Desa sebagaimana diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa di atas, bukanlah sesuatu yang memberatkan, tetapi justeru meringankan beban pemerintah Daerah karena pada prinsifnya hanya pergeseran pos anggaran dari SKPD ke APB Desa dalam wujud penyerahan kewenangan dari Kabupaten kepada Desa yang disertai dengan sumber pembiayaan/anggaran.
Dengan demikian, seandainya Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota konsisten terhadap aturan yang ada, maka pemberdayaan pemerintahan  desa bukanlah suatu yang mimpi dan imbasnya tentu saja terwujudnya pemberdayaan masyarakat dan terwujudnya akselerasi pembangunan masyarakat perdesaan.
Adanya rasa aman dan tertib dalam kehidupan bermasyarakat akan dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dikalangan masyarakat dan yang tidak kalah pentingnya akan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. Sebaliknya apabila kondisi strata masyarakat dihadapkan pada kondisi tidak aman akan menganggu tatanan kehidupan bermasyarakat yang pada gilirannya pemenuhan taraf hidup akan terganggu pula dan suasana kehidupan mencekam/penuh ketakutan seperti yang terjadi di beberapa daerah tertentu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dibayar mahal dengan korban jiwa, harta dan berbagai fasilitas sarana dan prasarana.
                                                                                               
BAB II
PEMBAHASAN

1. TEORI OTONOMI DAERAH
A.    Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari 2 kata yaitu ,  auto berarti sendiri,nomosberarti rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.
Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah.
Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu sebagai berikut:
-          Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
-          Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.
-          Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
-          DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
-          Otonomi daerah adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-          Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem  NKRI.
-          Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.     Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
a)      Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
b)      Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.
 Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
c)      Masa Kemerdekaan
1.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi
2)    Kabupaten/kota besar
3)    Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2.      Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)    Propinsi
b)    Kabupaten/kota besar
c)    Desa/kota kecil
d)   Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.         
3.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)    Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)    Daerah swatantra tingkat II
3)    Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4.      Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5.      Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi (tingkat I)
2)    Kabupaten (tingkat II)
3)    Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
 Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.      Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1)    Provinsi/ibu kota negara
2)    Kabupaten/kotamadya
3)    Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7.      Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
1)      Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2)      Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3)      Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4)      Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8.      Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.
Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.

C.    Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah
1.      Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita bahas.Namun ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan.Ada beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1)      Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2)     Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3)     Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah,saya juga menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi daerah harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
2.      Landasan Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
a.       Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan di sini.Asas-asas tersebut sebagai berikut:
Ø  . Asas tertib penyelenggara negara
Ø  Asas Kepentingan umum
Ø  Asas Kepastian Hukum
Ø  Asas keterbukaan
Ø  Asas Profesionalitas
Ø  Asas efisiensi
Ø  Asas proporsionalitas
Ø  Asas efektifitas
Ø  Asas akuntabilitas
b.      Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah.
 Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
 Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

c.       Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah.
      Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.

D.    Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
      Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting  dalam   menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang  terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
          Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut ,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan aktifitas
      Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan :
1)      Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2)      Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut(pendapatan)
          Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

E.     Dampak Otonomi Daerah
a.       Dampak Positif
            Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
b.      Dampak Negatif
            Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1)      Korupsi Pengadaan Barang Modus :
a.       Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b.      Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2)      Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
-          Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
-          Menjual inventaris kantor     
            untuk kepentingan pribadi.
3)      Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4)      Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :
-   Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap
    meja).
5)      Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.

Teori Otonomi Daerah Di Indonesia          
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
Dalam Pasal 1, huruf (i), UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan pengertian daerah otonom sebagai berikut: Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pasal 1, angka (6), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan pengertian daerah otonom sebagai berikut: Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Pengertian daerah otonom yang diberikan dalam kedua Undang-Undang tersebut juga serupa, meskipun UU No. 32 Tahun 2004 merupakan pengganti UU No. 22 Tahun 1999.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa :
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. “
            Kebijakan otonomi daerah yang demikian itu merupakan kebijakan Negara yang mendasari penyelenggaraan organisasi dan manajemen pemerintahan daerah. Artinya, seluruh kebijakan dan kegiatan pemerintahan serta kebijakan dan kegiatan pembangunan di daerah dilaksanakan menurut arah kebijakan yang ditetapkan dalam kebijakan Negara tersebut.
            Pelaksanaan otonomi daerah itu tentu saja bukan sekedar membincangkan mekanisme bagaimana menterjemahkan tujuan-tujuan policy kepada prosedur rutin dan teknik, melainkan lebih jauh daripada itu, melibatkan berbagai faktor mulai dari faktor sumber daya, hubungan antar unit organisasi, tingkat-tingkat birokrasi sampai kepada golongan politik tertentu yang mungkin tidak menyetujui policy yang sudah ditetapkan.
Otonomi daerah mengandung tujuan-tujuan, yaitu:
1.             Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
                        Salah satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.
2.             Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik.
3.             Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan menciptakan perikehidupan sejahtera.
4.             Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena merekalah yang paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.
Otonomi daerah merupakan amanat dari pasal 18 UUD 1945 yang dimuat dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 18
*(1)      Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi :
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuksusunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim
Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifatistimewa.
*(2)      Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
*(3)      Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
*(4)      Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
*(5)      Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
*(6)      Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
* (7)     Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
Pasal 18A
* (1)    Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur          dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
*(2)   Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
Pasal 18B
* (1)     Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
* (2)     Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
Prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah :
1.        Dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.        Didasarkan pada otonomi luas dan bertanggung jawab
3.        Pelaksanaan yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kebupaten dan daerah kota, pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.        Harus sesuai dengan konstitusi negara (tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah)
5.        Lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom
6.        Lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, pengawasan maupun anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
7.        Pelaksanaan asaz dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8.        Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintahan kepada daerah desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung-jawabkan kepada yang menugaskan.
                 Pembagian kekuasaan dalam kerangka otonomi daerah dilakukan berdasar prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Kekuasaan yang ditangani pusat hampir sama dengan oleh pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional.
     Tujuan otonomi daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antardaerah.
Sebagian ahli berpendapat otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri, mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedang otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
          Desentralisasi (definisi PBB) terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat dibawahnya maupun melalui pendelegasian pada pemerintah atau perwakilan di daerah.
          Otonomi makna sempit ‘mandiri’. Makna luas ‘berdaya’ otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah bisa maka dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri.
          Alasan Indonesia membutuhkan desentralisasi adalah :
1. Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta, pembangunan tidak merata;
2.      Pembagian kekayaan secara tidak adil dan tidak merata
3.      Kesenjangan sosial sangat mencolok

Ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah:
1) Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan;

 2) Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom;

3) Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis;

4) Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (sub¬ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif;

 5) Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara.

2.TEORI TENTANG KELURAHAN DAN DESA
            Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
            Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
A.    KELURAHAN
1.      Pengertian Kelurahan
Kelurahan merupakan wilayah gabungan dari beberapa Rukun Warga (RW). Pemerintahan di tingkat desa dan kelurahan merupakan unsur pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Dalam menjalankan semua perencanaan pembangunan di kelurahan terdapat Dewan Kelurahan (Dekel). Dewan Kelurahan berfungsi sebagai pemberi masukan kepada lurah tentang rencana pembangunan di wilayahnya.
Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.

2.      Ciri – Ciri Kelurahan
a.       Berada di kecamatan kota/ibukota kabupaten/kotamadya
b.      Merupakan Satuan Perangkat Kerja Daerah
c.       Pendanaan jadi satu dalam APBD
d.      Tidak ada otonomi
e.       Tidak ada demokrasi dalam pemilihan lurah. Lurah dipilih oleh Bupati/Walikota melalui Sekda
f.       Bersifat administratif
g.       Bukan bagian dr otonomi desa
3.      Fungsi Kelurahan
a.       pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan; 
b.      pemberdayaan masyarakat; 
c.       pelayanan masyarakat;
d.      penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
e.       pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
f.       pembinaan lembaga kemasyarakatan. 
4.      Perangkat Kelurahan
Kelurahan terdiri dari Lurah dan perangkat kelurahan. Perangkat kelurahan terdiri dari Sekretaris Kelurahan dan Seksi sebanyak-banyaknya 4 (empat) Seksi serta jabatan fungsional.
5.      Pemimpin Kelurahan
Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota atas usulan Camat dari Pegawai Negeri Sipil. Maka lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
Wewenang Lurah adalah :
1. Pelaksana kegiatan pemerintahan kelurahan
2. Pemberdayaan masyarakat
3. Pelayanan masyarakat
4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
5. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
6. Pembinaan lembaga kemasyarakatan.
6.      Status Jabatan Lurah
Lurah memiliki status jabatan sebagai perangkat pemerintahan kabupaten / kota yang melakukan tugas di kelurahan yang dipimpinnya
7.      Status Kepegaiwaian Lurah
Lurah memiliki status kepegawaian sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil)
8.      Proses Pengangkatan Lurah
Lurah dipilih berdasarkan pilihan bupati / walikota
9.      Masa Jabatan Lurah
Masa jabatan lurah tidak dibatasi, dan disesuaikan dengan aturan pensiun PNS (umur 58 tahun)
10.  Pembiayaan Pembangunan Kelurahan
Dana yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan adalah berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kabupaten/Kota yang dialokasikan sebagaimana perangkat daerah ataupun dari bantuan pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten /kota dan bantuan pihak ketiga serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat
11.  Dewan Kelurahan
Dalam Perda No. 5 tahun 2000 dinyatakan bahwa Dewan Kelurahan merupakan lembaga konsultatif perwakilan Rukun Warga (RW), sebagai wahana partisipasi masyarakat di Kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagai perwujudan demokrasi di Kelurahan. Lebih lanjut ditegaskan, Dewan Kelurahan merupakan mitra kerja Pemerintah Kelurahan dalam penyelenggaraan pemrintahan dan pemberdayaan masyarakat.

B.     DESA
             1.      Arti Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sedanggkan Desa, ndeso, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural).
Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung {Banten, Jawa Barat} atau dusun {Yogyakarta} atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi (Kalimantan Timur), Pambakal (Kalimantan Selatan), Hukum Tua (Sulawesi Utara).
Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, dan di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat.

Sedangkan menurut pendapat para ahli
a.       R.Bintarto. (1977)
Desa adalah merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain.
b.      Sutarjo Kartohadikusumo (1965)
Desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri merupakan pemerintahan terendah di bawah camat.
c.       William Ogburn dan MF Nimkoff
Desa adalah kesatuan organisasi kehidupan sosial di dalam daerah terbatas.
d.      S.D. Misra
Desa adalah suatu kumpulan tempat tinggal dan kumpulan daerah pertanian dengan batas-batas tertentu yang luasnya antara 50 – 1.000 are.”
e.       Paul H Landis
Desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri sebagai berikut :
1)      Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antra ribuan jiwa
2)      Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan
3)      Cara berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
f.       UU no. 22 tahun 1999
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten
g.      UU no. 5 tahun 1979
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
            2.      Fungsi Desa
Fungsi desa adalah sebagai berikut:
a.       Desa sebagai hinterland (pemasok kebutuhan bagi kota)
b.      Desa merupakan sumber tenaga kerja kasar bagi perkotaan
c.       Desa merupakan mitra bagi pembangunan kota
d.      Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia
           3.      Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota. Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa juga mempunyai tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya.
           4.      Ciri – ciri Desa
Desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri sebagai berikut :
a.       Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antra ribuan jiwa
b.      Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan
c.       Cara berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
            5.      Pemimpin Desa
Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades)
Wewenang Kepala Desa adalah :
a.       Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hal asal-usul desa
b.      Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa
c.       Tugas pembantuan dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota
d.      Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
           6.      Status Jabatan Kepala Desa (Kades)
Kepala Desa memiliki status jabatan sebagai pemimpin daerah atau desa tersebut
           7.      Status Kepegaiwaian Kepala Desa (Kades)
Kepala Desa memiliki status kepegawaian bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil)
           8.      Proses Pengangkatan Kepala Desa
Kepala Desa diangkat melalui PILKADES (Pemilihan Kepala Desa) yang langsung diikuti oleh seluruh warga desa yang akan dipimpinnya kelak. Pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah.
           9.      Masa Jabatan Kepala Desa
Masa jabatan kepala desa adalah 5 tahun dan apabila masa jabatannya sudah berakhir dapat dipilih kembali dalam 1 periode
           10.  Pembiayaan Pembangunan Desa
Dana yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan adalah berasal dari prakarsa masyarakat daerah itu sendiri. Dapat juga berasal dari: Pendapatan Asli Desa, Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, Bantuan dari pemerintah propinsi / kabupaten / kota, dan Hibah / sumbangan dari pihak ketiga.
           11.  Badan Perwakilan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

No
Perbedaan
Desa
Kelurahan
1
Pemimpin
Kepala Desa (Kades)
Lurah
2
Status Jabatan
Pemimpin daerah / desa tersebut
Perangkat pemerintahan kabupaten / kota yang sedang bertugas di kelurahan tersebut
3
Status Kepegawaian
Bukan PNS
PNS
4
Proses Pengangkatan
Dipilih oleh rakyat melalui PILKADES
Ditunjuk oleh bupati / walikota
5
Masa Jabatan
5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 periode
Tidak dibatasi dan disesuaikan dengan aturan pensiun PNS
6
Pembiayaan Pembangunan
Dana berasal dari prakarsa masyarakat
Dana berasal dari APBD

    Konsep Desa                                                                                                                  

            Desa merupakan kesatuan masyarakat ampo yang memiliki batas–batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang di akui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa, dalam definisi lainnya, adalah suatu tempat atau daerah di mana penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan kehidupan mereka. Desa adalah pola permukiman yang bersifat dinamis, di mana para penghuninya senantiasa melakukan adaptasi spasial dan ekologis sederap kegiatannya berpangupajiwa agraris.
            Desa dalam arti ampongrative, menurut Sutardjo Kartohadikusumo, adalah suatu kesatuan ampo di mana sekelompok masyarakat bertempat tinggal dan mengadakan pemerintahan sendiri. Penamaan atau istilah desa, disesuaikan dengan kondisi social budaya masyarakat setempat seperti ampong, desa, dusun, dan sebagainya, susunan Sali tesebut bersifat istimewa.Pengaturan mengenai pemerintahan desa telah terjadi pergeseran kewenangan sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak lagi ikut campur tangan secara langsung tetapi bersifat fasilitator yaitu memberikan pedoman, arahan, bimbingan, pelatihan dan termsuk pengawasan presentatif terhadap peraturan desa dan APBD.

PENGERTIAN PEMERINTAHAN DESA

            Pemerintah Desa menurut Dra. Sumber Saparin dalam bukunya “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”, menyatakan bahwa:
“Pemerintah Desa ialah merupakan simbol formal daripada kesatuan masyarakat desa. Pemerintah desa diselengarakan di bawah pimpinan seorang kepala desa beserta para pembantunya (Prangkat Desa), mewakili masyarakat desa guna hubungan ke luar maupun ke dalam masyarakat yang bersangkutan”.
Pemerintah Desa mempunyai tugas membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, mengajukan rancangan peraturan desa dan menetapkannya sebagai peraturan desa bersama dengan BPD.
Sedangkan pengertian Pemerintah Desa menurut Peraturan Daerah tentang Pedoman Organisasi Pemerintah Desa, yang menyatakan bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.
            Menurut Peraturan Daerah Nomor 7 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa, pasal 1 nomor 7 yang dimaksud dengan Kepala Desa adalah pimpinan dari Pemerintahan Desa. sedangkan menurut pasal 1 nomor 8 yang dimaksud dengan Perangkat Desa adalah unsur staf yang melaksanakan teknis pelayanan dan atau membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
            Pengertian desa Pemerintah dalam hal ini merupakan suatu lembaga-lembaga yang melakukan kegiatan memerintah kepada bawahannya atau seluruh masyarakat yang didasarkan atas peraturan yang berlaku. Pengertian pemerintah dapat dibagi dalam dua pengertian, yaitu dalam arti luas adalah pemerintahan yang merupakan gabungan antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah pemerintahan yang hanya mencakup lembaga eksekutif saja.
            Dari rumusan tersebut, maka pemerintah dapat diartikan sebagai Badan atau Lembaga yang mempunyai kekuasaan mengatur dan memerintah suatu negara
Soetarjo Kartohadikusumo di dalam buku yang berjudul “Desa”, mengemukakan bahwa dari segi perbendaharaan sejarah kata atau etimologi, kata Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu berasal dari kata Deshi yang artinya “Tanah Kelahiran” atau “Tanah Tumpah Darah”. Selanjutnya dari kata Deshi itu terbentuk kata Desa. ( Kartohadikusumo, 1988 : 16 )
            Desa adalah sebagai tempat tinggal kelompok atau sebagai masyarakat hukum dan wilayah daerah kesatuan administratif, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang berlokasi ditepi lautan/danau/sungai/irigasi/ pegunugan, yang keseluruhannya merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Hak Ulayat Masyarakat Desa.( Kartohadikusumo, 1988 : 16 )
            Desa menurut Prof. Drs. HAW. Widjaja dalam bukunya “Otonomi Desa” menyatakan bahwa:“Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, landasan pemikiran dalam mengenai Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”. (Widjaja,2003:3).
            Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok penyelengaraan Pemerintah Daerah, menyatakan bahwa :“Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Penjelasan Umum Undang-undang No. 5 Tahun 1974).
            Hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri ini bukanlah hak otonomi sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Pada hakekatnya Pemerintahan Desa tumbuh dalam masyarakat yang diperoleh secara tradisionil dan bersumber dari hukum adat. Jadi Desa adalah daerah otonomi asli berdasarkan hukum adat yang berkembang dari rakyat sendiri menurut perkembangan sejarah yang dibebani oleh instansi atasannya dengan tugas-tugas pembantuan.
            Pada masa ini Pengertian Desa yang resmi adalah pengertian yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Desa yang didalamnya mengandung Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah :
            ”Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten”.
            Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah Kabupaten sehingga setiap warga Desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup dilingkungan masyarakatnya.          
Secara umum di Indonesia, desa (atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah setempat) dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturanaturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok masyarakat tersebut. Wilayah yang ada pemerintahannya Desa/Kelurahan langsung berada di bawah Camat. Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga kecamatan menjadi instrumenkoordinator dari penguasa supra desa (Negara melalui Pemerintah dan pemerintah daerah).
Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang menguasai seluruh bumi nusantara sebagai suatu kesatuan negara,1 urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa, yang dikenal sebagai hukum adat.
 Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang hanya murni tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan (dalam administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan sampai pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal- usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa dari sudut pandang sosial budaya dapat diartikan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu dan antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung dengan alam.
 Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang rendah (Juliantara, 2005: 18).
dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pada ayat (2) tertulis bahwa pembentukan desa harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Jumlah Penduduk.
b. Luas Wilayah.
c. Bagian Wilayah Kerja.
d. Sarana dan Prasarana Pemerintahan.
3.      TEORI PEMBANGUNAN DAERAH

PEMBANGUNAN (MASYARAKAT) DESA
Sebagaimana dikemukakan di atas, pembangunan adalah Merupakan proses perubanan yang disengaja dan direncanakan lebih  Lengkap lagi, pembangunan berarti perubahan yang disengaja atau Direncanakan dengan tujuan untuk mengubah keadaan yang tidak dikehandaki ke arah yang dikehendaki. Istilah pembangunan umum- nya dipadamkan dengan istilah developmen, sekalipun istilah developmen sebenarnya berarti perkembangan tanpa perencanaan.
 Maka pembangunan masyarakat desa juga disebut  rurar development. Demikian pula istilah modemisasi juga sering diartikan identik dengan pembangunan, yakni mengingat artinya sebagai proses penerapan pungetahnan dan teknologi modem pada berbagai segi atau bidang kchidupan masyarakat. Sehingga, ada pula yang mendefinisikan pcm- bnngunan sebagai usaha yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan. perubahan sosial melalui modemisasi.
Di negara-negara berkembang, proses perubahan dan perkem- bangan yang terjadi padu ntasyarakat --termasuk masyarakat desa-- tidak lepas dari campur tangan Pemerintah. Dengan demikian jelas bahwa yang merencanakan dan merekayasa prubahan adalah Negara (cq. pemerintah), Campur tangan Negara ini dilakukan dengan tujuan untnk mempercepat akselerasi pembangunan agar bangsanya tidak tertinggal dari dunia Barat.  Istilah dan pengertian pembangunan tersebut di atas tidak lazim bagi negara-negara industri Barat yang telah maju dan modern. Hal ini dapat dimengerti karena proses modemisasi di Barat merupakan peroses perkembangan (developmen) intemal dan wajar lewat industri dungan sistem kapitalisasinya. Proses ini bersifat wajar dalam arti tidak ada perencanaan, pengendalian, atau kesengajaan terhadap jalannya proses tcrsebut. Peran Pemerintah bersifat pasif. Kalaulah ada yang dapat diperhitungkan sebagai kekuatan pengendali yang aktif, adalah kekuatan pasar.
Modernisasi ini, dengan industri dan system. Kapitalisme yang melandasainya, telah mengantarkan negara- ncgara. Barat tersebut ke tingkat kemajuan yang telah dicapainya sejauh ini. Bagaimana dengan dunia Ke tiga, terasuk Indonesia? Mengapa pembangunan diperlukan? Hal ini mudah dimengerti. Sebab, Negara negara berkembang (dunia ke tiga) semenjak memperoleh kemerdekaannya; merasa bebas untuk menentukan-nasibnya sendiri. Hal yang segera dirasakan adalah keterbelakangan dan ketertinggalan- nya dari dunia Barat. Maka untuk memajukan Negara dan sekaligus untuk mengejar ketertinggalan itu; proses modemisasi (dengan atau tanpa industrialisasi) yang biasa tidaklah cukup.
 Moderenisasi itu harus direncanakan, dipacu, dan diakselerasikan, sedemikian rupa sehingga ibarat kendaraan segcra bisa mengantar negara-negara berkembang_tersebut menjadi negara yang maju dan sejahtera setara dengan dunia`Barat. Pembangunan secara umum mengandung penger- tian secaman ini.  Bagaimana kegiatan pembangunan nasional di Indonesia? Scbagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pembangunan adalah mcrupakan kegiatan yang direncanakan. Oleh negara atau khususnya pemerintahu
Di Indonesia kegiatan pernbangunan nasiona1 secara berencana telah dilancarkan semenjak tahun 1950-an, khususnya lewat pcran Dewan Perancang Nasional (DEPPERNAS) yang memprioritas- kan pembangunan di bidang ekonomi. Dengan diemikian, pemba~ nggunan nasional telah dilancarkan semenjak jaman Orda, Orba, hingga sekarang.
 Bagaimana rumusan pengertian pembangungm nasional kita? Diawali dengana penugasan Deppernas oleh Presiden untuk "meran- cangkan pola masyarakat 'adil' dan makmur sebagaimana dfnuaksudkan o1ch Pembukaan_UUD 1945”, maka Undang-undang Nomor ;85,Tabun 1958 menyiratkan pengcrtian pembangunan nasional kita sebagai usaha untuk mempertinggi tingkat kehidupan bangsa Indonesia dengan jalan peningkatan produksi dan pengubahm: struktur pereko- nomian yang ada-menjadi struktur perekonomian nasional. Rurnusan semacam ini ditegaskan kembali dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Lentang-Garis-garis Besar Pola Pembanggunan Nasional
Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Rencana ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. karena pecahnya pemberontakan G30S PKI tahun l965. Kemudian, tahun.1966 Badan Perancang Pembangunan Naaional (BAPPENAS) yang dibentuk tahun l967 mulai mengambil peran dalam rancangan pembangunan nasional.
Program-program pembangunan memperoleh landasannya lewat pelbagai keputusan politik seperti tertera dalam Kepres Nomor 319 Tahun 1968 tentang Repelita I, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN 1978, dan lainnya. Tap MPR Nomor II/MPR/1983 menegas- kan hakekat pembnngunan nasional sebagai pembangunan manusiaIndonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indo-nesia. Bagaimana dengan pembangunan masyarakat desa? Dalam rumusan pembangunan nasional tersebut ditetapkan bahwa pembangunan masyarakat desa merupakan bagian integral dari pemba- ngangunan nasional. Secara lebih khusus pembangunan masyarakat dcsa memiliki beberapa pengertian, antara lain:
  Pembangunan "masyarakat delsa berarti pembangunan masyarakat tradisional rnenjadi manusia modern (Horton dan Hunt, 1976, Alex Inkeles, 1765)
  Pembangunan masyarakat desa berarti membangun swadaya masyarakat dan rasa percaya pada diri sendiri (Mukerjee dalam Bhattacharyya, 1972).
  Pembangunan pcdesaan tidak lain dari pembangunan usaha tani atau membangun pertanian (Mosher, 1974, Bertrand, 1958).
Di samping batasan-batasan tersebut, pembangunan desa di Indonesia memiliki arti: pembangunan nasional yang ditujukan pada usaha peningkamn taraf hidup masyarakat pedesaan, menumbuhkan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terhadap pembangunan, dan menciptakan hubungan yang selaras antara masyarakat dengan lingkungannya (berdasarkan GBHN dan Repelita-repelita).
 * Dalam pada itu, istilah asing untuk pcmbangunan desa bukan hanya rural development (RD), rnelainkan juga community development (CD).`Dua istilah ini sering muncul dalam berbagai wacama tentang pembangunan masyarakat desa. Sekalipun ada yang Cenda- rung tidak memperlihatkan perbedaannya, namun sebcnamya tcrdapat perbedaan antara dua konsep itu.
CD merupakan pendekatan pembangunan yang mengutamakan panisipasi aktif masyarakat. CD berlaku baik di desa maupun di perkotaan. RD di lain pihak hanya berlaku di pedesaan, dan mengutamakan keserasian masyarakat dengan Iing- kungannya. Sejak tahun 1977 Indonesia mengembangkan konsep Integrated Rural Development (IRD). IRD menekankan keterpaduan program-program pembangunan yang ada di desa, yang kalau tidak dipadukan akan bersifat fragmentaristik, terikat pada berbagai depanernen yang ada (Penanian, Sosial, Perindustrian, dan lainnya).    
Berlandaskan Undang-undang'Nomor 5 'Tahun 1974, pemba- ngunan desa yang diIaksanakan oleh Pemerintah terutama bertumpu pada Departemen Dalam Negeri. Pasal 80 Undang-undang itu menyai takan bahwa Kepala Wilayah (Gubernur, Bupatit,.Camat) adalah pcnguasa tunggal di bidang pemerintahan dan berkewajiban untuk mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyara- kat di segala bidang. Departemen Dalam Negeri rnemiliki program program pembangunan jangka pendek dan panjang.
Progranm-program jangka pendek bertujuan untuk mensukses- kan sector-sektor yang diprioritaskan dalam skala nasional seperti: menggerakkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalarn  pembangunan, penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan, pening- katan produksi pangan (pertanian); perluasan .
            kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan kegiatan pembangunan, menggcrakan dan meningkatkan kegiatan perkoperasian, menggalakkan dan meningkatkan Keluarga Berencana, Serta meningkatkan kesehatan' masyarakat.
Program-program jangka panjang dalam' garis besamya bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan selumh dcsa di Indonesia. Ukuran kemajuan didasarkan atas tipologi desa yang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri; khususnya Ditjen Pembangunan Desa (BANGDES), yakni tipe desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Péngembangan ini tidak terlepas dari kerangka Pembangunan Regional dan Nasional.  
Langkah-langkah yang ditempuh Departemen Dalam Negeri dalam kaitannya dengan program-program jangka pendek dan panjang tersebut rantara lain adalah memperluas dan menyernpurnakan jaringan prasarana desa, meningkatkan pengetahuan dan kcterampilan  masyarakat desa, memper1uas fasilitas serta pelayanan keehatan dan perbaikan sanitasi, pengembangan dan perbaikan pernukiman, perlu-  asan lapamgan kerja, pengembangan dan pcningkatan perkoperasian, perbaikan dalam penggunaan dan peruntukan tanah, dam lainnya.
            Desa yang dijadikan obyek pembangunan, merupakan unit pemerintahan terkecil yang ada dalam sistem pemerintahan Indonesia. Posisi desa yang berada pada garis terdepan pelayanan kepada masyarakat akan sangat menentukan penampilan sistem pemerintahan yang ada di atasnya.
             Suksesnya pemerintah desa dalam menjalankan program-program pembangunan di desa merupakan sukses pula bagi pemerintah kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan pemerintah pusat, karena pembangunan desa merupakan bagian integral pembangunan nasional.

4.      TEORI KESEJAHTERAAN
            Kesejahteraan adalah salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi.kondisi tersebut juga diperlukan untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Selanjutnya percepatan pertumbuhan ekonpomi masyarakat memerlukan kebijakan ekonomi atau peranan pemerintah dalam mengatur perekonomian sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian.  
1). Teori Kesejahteraan sosial dan ekonomi
            Ekonomi Italia, Vilveredo Pareto, telah menspesifikasikan suatu kondisi atau syarat terciptanya alokasi sumberdaya secara efisien atau optimal, yang kemudian terkenal dengan istilah syarat atau kondisi pareto (Pareto Condition). Kondisi pareto adalah suatu alokasi barang sedemikian rupa, sehingga bila dibandingkan dengan alokasi lainnya, alokasi tersebut takan merugikan pihak manapun dan salah satu pihak pasti diuntungkan. Atas kondisi pareto juga bisa didefinisikan sebagai suatu situasi dimana sebagian atau semua pihak individu takan mungkin lagi diuntungkan oleh pertukaran sukarela.
            Berdasarkan kondisi pareto inilah, kesejahteraan sosial (sosial welfare) diartikan sebagai kelanjutan pemikiran yang lebih utama dari konsep-konsep tentang kemakmuran (walfare economics), (Swasono, 2005:2). Boulding dalam Swasono mengatakan bahwa “ pendekatan yang memperkukuh konsepsi yang telah dikenal sebagai sosial optimum yaitu paretion optimum (optimalitas ala Pareto dan Edeworth), dimana efesiensi ekonomi mencapai sosial optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih beruntung.
            Teori kesejahteraan secara umum dapat diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu classical utilitarian, neoclassical welfare theory dan new contractarian approach (Albert dan Hahnel dalam Darussalam 2005:77). Pendekatan classical utillatarial menekankan bahwa kesenangan (pleasur) atau kepuasan (utility) seseoarang dapat diukur dan bertambah.
            Berdasarkan pada beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang dapat terkait dengan tingkat kepuasan (utility) dan kesenangan (pleasure) yang dapat diraih dalam kehidupannya guna mencapai tingkat kesejahteraannya yang diinginkan. Maka dibutuhkan suatu prilaku yang dapat memaksimalkan tingkat kepuasa sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.
            Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak indicator keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk. (2005:15) menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat di representasikan dari tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah kebawah.
            Todaro secara lebih spesifik mengemukakan bahwa fungsi kesejahteraan W (walfare) dengan persamaan sebagai berikut :
W=W(Y,I,P)
Dimna Y adalah pendapatan perkaital I adalah ketimpangan, dan P adalah kemiskinan absolute. Ketiga fariabel ini mempunyai signifikan yang berbeda-beda, dan selayaknya harus dipertimbangkan secara menyeluruh untuk menilai kesejahteraan di Negara-negara berkembang.
            Berkaitan dengan fungsi persamaan kesejahteraan diatas, diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan perkapital, namun berhubungan negative dengan kemiskinan.
2.Teori Kesejahtraan Masyarakat
            Menurut Walter A. Friedlander (1961) kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.
            Menurut Arthur Dunham (1965) kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan didalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak,  kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberi perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan.
            Harold L. Wilensky (1965) mendefinisikan kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individu-individu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar individu dan relasi-relasi sosialnya memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya serta meningkatkan atau menyempurnakan kesejahteraan sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
            Alfred J.Khan (1973) menyatakan bahwa kesejahteraan sosial terdiri dari program-program yang tersedia selain yang tercakup dalam kriteria pasar untuk menjamin suatu tindakan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan kesejahteraan, dengan tujuan meningkatkan derajat kehidupan komunal dan berfungsinya individual, agar dapat mudah menggunakan pelayanan-pelayanan maupun lembaga-lembaga yang ada pada umumnya serta membantu mereka yang mengalami kesulitan dan dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
            Lalu menurut Zastrow (2000) kesejahteraan sosial adalah sebuah sistem yang meliputi program dan pelayanan yang membantu orang agar dapat memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sangat mendasar untuk memelihara masyarakat. Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.
            Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009, kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya, dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dimana dalam penyelanggaraannya dilakukan atas dasar kesetiakawanan, keadilan, kemanfaatan, keterpaduan, kemitraan, keterbukaan, akuntabilitas,partisipasi, profesionalitas dan keberlanjutan.
  Kriteria Pareto

            Kriteria yang paling banyak digunakan dalam menilai ekonomi kesejahteraan adalah pareto criteria yang dikemukakan oleh ekonom berkebangsaan Italia bernama Vilfredo Pareto. Kriteria ini menyatakan bahwa suatu perubahan keadaan (eg. Intervention) dikatakan baik atau layak jika dengan perubahan tersebut ada (minimal satu) pihak yang diuntungkan dan tidak ada satu pihakpun yang dirugikan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam  pareto criteria adalah pareto improvement dan pareto efficient. Kedua hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan suatu kebijakan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan pareto improvement adalah jika keputusan perubahan masih dimungkinkan menghasilkan minimal satu pihak yang better off tanpa membuat pihak lain worse off.

4.      Tingkatan Kesejahteraan Menurut Teori Pareto

            Dalam teori ekonomi mikro ada yang dikenal dengan teori Pareto yang menjelaskan tentang tiga jenis tingkatan kesejahteraan, yaitu
1.       pareto optimal. Dalam tingkatan pareto optimal terjadinya peningkatan kesejahteraan seseorang atau kelompok pasti akan mengurangi kesejahteraan orang atau kelompok lain.
2.       pareto non optimal. Dalam kondisi pareto non-optimal terjadinya kesejahteraan seseorang tidak akan mengurangi kesejahteraan orang lain.
3.      pareto superior. Dalam kondisi pareto superior terjadinya peningkatan kesejahteraan seseorang tidak akan mengurangi kesejahteraan tertinggi dari orang lain. Menurut teori pareto tersebut, ketika kondisi kesejahteraan masyarakat sudah mencapai pada kondisi pareto optimal maka tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan.

 Kesejahteraan dan Permasalahannya
Ilmu ekonomi adalah Ilmu yang dipelajari dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Indikator dari kesejahteraan terpenuhinya semua kebutuhan secara layak. Namun untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bukan suatu hal yang mudah, karena penuh dengan permasalahan-permasalahan yang harus ditanggulangi.
1.      Problema kependudukan
Sebagian besar negara di dunia menghadapi problema kependudukan atau demografi yakni problema tentang cepatnya pertumbuhan penduduk, bahkan terjadi ledakan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi dan lapangan kerja sehingga berdampak makro di bidang sosial dan ekonomi. Indonesia dalam bidang kependudukan juga menghadapi problema pokok yakni : pertumbuhan penduduk yang termasuk tinggi, dan kepadatan penduduk yang tidak merata. Problema ini tentu saja sangat berdampak pada banyak bidang, khususnya bidang sosial dan ekonomi.

2.      Pengangguran dan Inflasi 
Masalah pengangguran terjadi di banyak negara, khususnya negara miskin dan berkembang, tentu saja termasuk Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan kesempatan kerja merupakan faktor dominan terjadinya pengangguran disamping karena faktor yang lain diantaranya : rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya investasi, kemalasan manusia, melemahnya kepercayaan pihak luar negeri dll. Tingginya pengangguran sebagai tolok ukur rendahnya produksi dan berakibat pada minimnya jumlah barang, bahkan terjadi kelangkaan produk yang dibutuhkan masyarakat, tentu saja hal ini akan berdampak pada naiknya harga barang pada umumnya yang kita kenal dengan inflasi. Negara manapun di dunia ini akan berusaha menstabilkan perekonomiannya dengan upaya utamanya melalui pengendalian laju inflasi.
3.      Pertumbuhan dan pencemaran 
Pertumbuhan ekonomi suatu negara akan selalu diiringi dan disebabkan oleh pertumbuhan produksi. Pertumbuhan produksi ditandai dengan pertumbuhan beberapa sektor produksi : ekstraktip, agraris, industri, perdagangan dan jasa. Pertumbuhan sektor produksi tersebut khususnya sektor industri, agraris dan ekstraktip sangat mempengaruhi kualitas lingkungan, sehingga sering kita jumpai dampak negatif dari pertumbuhan sektor ini menimbulkan pencemaran di darat, laut maupun udara yang sangat mengganggu pada kualitas pertumbuhan makhluk hidup.
4.      Masalah kemiskinan dan kesehatan 
Rendahnya produksi, rendahnya kesempatan kerja, tingginya angkatan kerja, tingginya jumlah pengangguran akan berakibat pada rendahnya pendapatan individu dan masyarakat yang tentu saja akan berakibat tingginya angka kemiskinan.
Kemiskinan akan sangat berdampak pada rendahnya kemampuan untuk menjaga kesehatannya. Kondisi ini banyak terjadi di negara-negara berkembang, lebih-lebih pada negara-negara miskin.
5.      Krisis energi
Energi merupakan bagian yang sangat penting bagi perekonomian, khususnya sektor industri. Keberadaan dan produktifitas industri suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan untuk menyediakan energi khususnya sebagai sumber tenaga. Kemampuan menyediakan energi ini sangat ditentukan oleh faktor alam yang dimiliki suatu negara dan sumber daya alam yang dimiliki khususnya minyak, batu bara dan gas. Banyak negara maju yang mengalokasikan dananya cukup besar memenuhi kebutuhan energi.
            Negara Kesejahteraan (welfare state) merupakan perwujudan para pemikir intervensionis dimana intervensi negara terhadap masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan kesejahteraan mereka, meskipun ini mendapat kritik dari para neoliberal (Anderson, 2002:14). Pikiran mereka tidak menghapus negara kesejahteraan, akan tetapi para pemikir ini menyetujui intervensi negara kepada masyarakat hanya untuk mereka yang paling miskin (Midgley, 2005:62).
             Meskipun demikian halnya, kemunculan welfare state berbeda-beda di setiap negara (Rothstein, 2002:3). Perkembangan negara maju berlangsung dengan perdebatan tersendiri tentang kemajuan ekonomi politik dari dua pemikiran di atas. Bagaimana pun hasil perdebatan ini membuahkan hasil perbaikan kesejahteraan masyarakatnya hingga sekarang ini.
            Pikiran interventif inilah jiwa dari pemikiran pembangunan yang berlangsung di negara berkembang. Keadaan yang berlangsung di negara berkembang agak berlainan. Intervensi negara dalam perencanaan pembangunan guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat hasilnya berbeda.
             Program dan proyek pembangunan dalam kenyatannya lebih menguntungkan para agen pembangunan, baik pemerintah, bisnis maupun organisasi sosial, dari pada masyarakat pada umumnya (Tabb, 2001:65). Meskipun para neoliberalis ini tidak menyukai intervensi negara secara berlebihan dalam perkembangan masyarakat modern di Eropa dan Amerika, akan tetapi sikap intervisonis para neoliberalis ini lebih banyak dimainkan terhadap negara berkembang, yang membuat negara berkembang semakin tergantung pada pola pembangunan yang disponsorinya melalui pendanaan hutang luar negeri. Bagaimana pun ini semua dilakukan atas dasar kepentingan perluasan pasar produk industrial yang telah diciptakan.
            Kebijakan pembangunan di negara berkembang banyak dicampuri agar mengikuti kepentingan mereka, yang dikaitkan dengan kebijakan hutang luar negeri. Ada dua skema yang dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan pembangunan di negara berkembang, yakni melalui pemberian hutang dan yang lain melalui pendanaan hibah lewat NGOs internasional yang bekerjasama dengan NGOs nasional dan regional.
             Isu dan program pembangunan negara berkembang disesuaikan dengan konseptualisasi mereka (Edward, 2004:15). Oleh sebab itu pikiran neoliberalis yang menguasai perekonomian dunia dan yang tergabung dalam perusahaan atau korporasi sejagad (Multi National Corporation dan Trans National Corporation) mendanai dan sekaligus menentukan konsep pembangunan.
            Setiap orang yang mendefinisikan pembangunan memang cenderung normatif, sesuatu yang diharapkan terhadap perubahan kekinian maupun dimasa depan. Namun jika pembangunan itu mengakibatkan keadaan buruk yang tidak diharapkan, tidak menghasilkan perbaikan masyarakat secara berarti. Demikan juga terjadi pengkutuban hasil pembangunan oleh sebagian kecil warga negara yang kekayaannya melimpah sedang sebagian besar warga negara menikmati sebagian sisa dari apa yang telah dinikmati oleh orang kaya, akankah definisi normatif itu selalu dipuja-puja?
            Dalam realitas seperti ini maka orang mengatakan bahwa pembangunan adalah sebuah bentuk eksploitasi milik publik ke dominasi individu atau kelompok tentang hasil pembangunan. Hal yang sama juga bisa dikatakan bahwa pembangunan itu adalah dominasi Barat atas negara-negara berkembang yang semula adalah daerah koloni mereka. Kalau dulu koloni adalah tempat pengambilan bahan baku, hasil perkebunan dan berbagai tambang untuk perdagangan internasional, kini keberadaan yang dahulu adalah koloni, negara itu secara yuridis adalah negara merdeka, akan tetapi pada umumnya mereka secara sosiologis tidak merdeka karena kekayaan dan pasarnya sudah dimiliki oleh negara yang mendanai pembangunan negara tersebut. Kebanyakan konsep pembangunan yang berlangsung di negara berkembang adalah berasal dari konseptualisasi pendonor pembangunan.
            Para pemikir generasi kedua tentang teori ketergantungan mengatakan bahwa pembangunan tidak akan membebaskan negara berkembang dari ketergantungan mereka terhadap negara maju. Industrialisasi negara berkembang hanya diraih oleh sebagian kecil negara, itu pun tidak muncul dari pembangunan negara berkembang akan tetapi itu berasal dari negara maju. Ini semua adalah maksud dari perusahaan di negara maju untuk mendapat perlindungan pasar di negara berkembang dengan cara mendapatkan buruh murah atau negara maju akan mengekspor teknologi industri padat modal ke negara berkembang, yang sedikit menciptakan tenaga kerja  yang semuanya itu dilakukan oleh orang asing (Rapley, 2007:27).
5.TEORI EKONOMI DAERAH
            Peranan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama di Negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga bekas jajahan harus benar-benar aktif dan positif.karena pemerintah harus mempnyai sasaran utama bagi rakyatnya terutama yang berkenaan dengan upaya meningkatkan taraf hidup atau tingkat kemakmuran rakyatnya. Apalagi pemerintah mempunyai sumber daya alam yang abnyak dan bernilai tinggi.karenanya pnjajah melakukan penjajahan di banyak Negara terbelakang yang kaya akan sumber daya alamnya.
            Dalam zaman yang segalanya serba global,peranan pemerintah untuk melakukan pembangunan ekonomi khususnya merupakan kunci menuju masyarakat yang lebih makmur.bahkan pada waktunya diharapkan bisa menjadi Negara yang maju/industry.masalah Negara terbelakang atau Negara berkembang begitu besarnya dan masalah itu tidak bias diserahkan begitu saja pada mkanisme bebas kekuatan-kekuatan ekonomi.
            Untuk itu dalam upaya menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sector perekonomian hingga penawaran harus sesuai dengan permintaan.untuk itu dibutuhkan pengawasan dan pengaturan oleh Negara atau pemerintah dalam upaya mencapai pertumbuhan yang seimbang.karena kesimbangan membutuhkan suatu pengawasan terhadap produksi,distribusi dan konsumsi komoditas.untuk itu pemerintah harus membuat suatu rencana pengawasan fisik serta langkah-langkah fiscal dan moneter yang perlu dilakukan.langkah-langkah tersebut tidak dapat dihindarkan dalam upaya mengurangi ketidak seimbangan ekonomi dan social yang mengancam Negara berkembang.mengatasi perbedaan social dan menciptakan psikologis,ideology,social,dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi menjadi tugas penting pemerintah.
            Oleh karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh.menurut Arthur Lewis lingkup itu menyangkut masalah :
A. Penyelenggaraan pelayanan umum
            Di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka dalam mengakses dan menggunakan pelayanan publik, akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut umumnya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya.Sebaliknya, pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, pada kenyataannya hanya sebuah retorika, sebab urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat dikerjakan semua hanya oleh pemerintah.
            Menurut Miftah Thoha, pelayanan publik dapat dipahami sebagai suatu usaha oleh seorang/ kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (1991).Hanya saja, dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah tugas yang mudah mengingat usaha tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu kemudian peran swasta sangat diharapkan untuk melengkapi pemerintah dalam menciptakan kualitas pelayanan publik yang optimal.
Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a.       Pendidikan.
b.      Kesehatan.
c.       Keagamaan.
d.      Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e.       Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f.        Sosial.
g.       Perumahan.
h.       Pemakaman/krematorium.
i.         Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
            Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing
B. Penentuan sikap
            Dalam hal ini pemerintah dalam melihat berbagai permasalahan ekonomi hendaknya tanggap serta sensitive terhadap berbagai masalah masyarakatnya.misalnya dalam penanggulangan masalah kemiskinan.Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah kemiskinan pada pembangunan nasional,yaitu:
v     Kebijakan pemenuhan hak-Hak Dasar Masyarakat.
            Pemerintah terus aktif melakukan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat seperti ketahanan pangan, penyadiaan perumahan murah, layanan kesehatan dan layanan pendidikan. Kebijakan ini terlihat dari program penyediaan distribusi bahan makanan, program wajib belajar 9 tahun, pembangunan perumahan rakyat, dan lain-lain.
v     Pembangunan pemerintah dan usaha kecil.
            Sektor pertanian dan usaha kecil memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
v     Pembangunan SDM.
            Pembangunan sumber daya manusia dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas terutama untuk golongan penduduk miskin. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan melalui program pendidikan dan kesehatan.
v     Peraturan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
            Peranan LSM penting bagi program pengurangan kemiskinan.Mereka justru mampu menjangkau golongan kelompok miskin.
C. Pembentukan lembaga-lembaga ekonomi
            Lembaga ekonomi ialah pranata yang mempunyai kegiatan dalam bidang ekonomi demi terpenuhinya kebutuhan masyarakat pada umumnya.Fungsi lembaga ekonomi:
v     Memberi pedoman untuk mendapatkan bahan pangan
v     Memberi pedoman untuk barter dan jual beli barang
v     Memberi pedoman untuk menggunakan tenaga kerja dan cara pengupahan
v     Memberi pedoman tentang cara pemutusan hubungan kerja
Contoh Masalah:

Pada umumnya masyarakat Desa Koreng memiliki mata pencaharian sebagai petani, dengan bertani mereka merasa kebutuhan masih belum mencukupi dan ada juga yang beberapa mengharuskan mereka agar bekerja di luar desa.

 Seperti warga yang tidak sempat berpartisipasi karena masih banyak warga yang kalau mereka tidak bekerja dalam beberapa hari, maka mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sandang pangan mereka. Dan karena yang lain belum mempunyai wilayah garapannya sendiri mengharuskan mereka untuk keluar daerah .



5.      TEORI PEMBANGUNAN
A.     Konsep Pembangunan
Istilah pembangunan juga menunjukan hasil proses pembangunan itu sendiri. Secara etimologi, pembangunan berasal dari kata bangun,di awalan “pe “ dan akhiran “ an “, guna menunjukan perihal orang membangun, atau perihal bagaimana pekerjaan
membangun itu dilaksanakan. Kata bangun setidak-tidaknya mengandung tiga arti. Bangun dalam arti sadar atau siuman. Kedua, berarti bentuk. Ketiga, bangun berarti kata kerja, membangun berarti mendirikan. Dilihat dari segi ini, konsep, pembangunan meliputi ketiga arti tersebut. Konsep itu menunjukan pembangunan sebagai :
1.      Masukan, kesadaran kondisi mutlak bagi berhasilnya perjuangan bangsa.
2.      Proses, yaitu membangun atau mendirikan berbagai kebutuhan bardasarkan nasional.   

Keluaran, yaitu berbagai bentuk bangun sebagai hasil perjuangan, baik fisik maupun non fisik (Taliziduhu Ndraha, 1987:1-2).
Para ahli banyak mengunakan berbagai istilah dalam mendefinisikan pembangunan. Antara lain dengan menggunakan kata Modernisasi, perubahan ampon (ampon change), development, pertumbuhan (growth) dan lain sebagainya. Kata pembangunan seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli sangatlah bervariasi. Antara lain seperti yang dikatakan oleh Bimantoro Tjokoamidjojo dan Mustopadidjaja yang menyebutkan bahwa pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Sondang P. Siagian mengemukakan pendapatnya mengenai pembangunan itu adalah suatu usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan oleh suatu bangsa secara sadar, Negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.
Dari berbagai definisi yang di kemukakan di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan, kebersamaan, kesempatan, kemandirian dan saling ketergantungan masyarakat, yang pada akhirnya untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat itu sendiri.
            Apabila kita cermati keadaan yang terjadi di sekitar lingkungan kita, masyarakat kecil atau masyarakat kelas bawah ternyata bukanlah masyarakat yang secara keseluruhan hanya mampu menggantungkan kehidupannya pada pihak lain, dalam hal ini terutama pada pemerintah. Mereka juga bukan seluruhnya dapat dikatakan akan menjadi beban pembangunan bangsa. Kenapa bisa dikatakan seperti itu, bukan lain karena diantara mereka juga pada dasarnya tumbuh semangat untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan pada pihak lain.
Kasus di Jakarta menunjukkan, ternyata partisipasi masyarakat terhadap perekonomian cukup berarti bagi kelangsungan roda pertumbuhan ekonomi, minimal mengurangi beban yang seharusnya menjadi tanggungan pemerintah.
             Dalam kasus ini, Biro Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menghitung, ternyata pedagang kaki lima Jakarta menyetor pungutan liar sebesar Rp 53,4 milyar/tahun, dengan omzet Rp 42,3 milyar/hari!. Dari aset dan omzet yang ada, ternyata sektor ini tidak begitu miskin, artinya angka yang dihasilkan oleh mereka ternyata juga cukup besar.
            Jadi dalam kasus tadi, sikap para pedagang kaki lima ternyata menunjukkan bahwa mereka mampu eksis di tengah gelombang terpaan krisis ekonomi yang terjadi. Jelas sikap kewirausahaan semacam itu akan cukup signifikan bagi peningkatan kemampuan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan di beberapa kota lainnya, kita bisa menyaksikan, betapa di jalan-jalan utama kota tadi, kini telah tumbuh pusat-pusat ekonomi informal yang juga ternyata mampu membantu menaikan pendapatan ekonomi warga masyarakat serta diyakini kedepannya akan berimplikasi pada peingkatan kehidupan dan kesejahteraan para pedagang yang ada di sana.
            Makanya tidak seluruhnya benar ungkapan yang mengatakan bahwa penyebab keterpurukan ekonomi bangsa ini adalah karena adanya ketidakmampuan untuk menumbuhkan modal (capital). Dari segi ekonomi, modal adalah memang salah satu kekuatan pertumbuhan ekonomi. Namun tanpa dibarengi dengan kekuatan untuk berusaha dengan keras, tetap saja akan kurang signifikan dengan peningkatan produktivitas. Sebagaimana para pedagang kaki lima tadi, dengan modal terbatas, akhinya mereka tetap mampu eksis. Dengan mereka eksis, minimal mereka akan mampu memenuhi kebutuhan-kebuuhan dasar kehidupan keluarganya.
            Diharapkan dari peningkatan tersebut, akan meningkatkan pula kesejahteraan keluarga mereka. Dengan begitu, pemerintah tinggal mendorong semangat berwirausaha ini menjadi semangat kolektif yang terus pula dikembangkan menjadi lebih luas lewat pembinaan-pembinaan kelompok usaha-kelompok usaha yang ada di masyarakat, atau paling tidak memberikan arahan-arahan bagi pengembangan usaha mereka secara personal.
            Adapun, kalau kita jabarkan secara singkat dan sederhana, peran apa saja yang dilakukan masyarakat dalam berpartisipasi dalam peningkatan pembangunan daerah adalah, diantarnya :
a.      Peran di Bidang Pendidikan
            Pendidikan adalah permasalahan besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa dan negara. Karena itu, tuntutan reformasi politik, ekonomi, sosial, hak azasi manusia, sistem pemerintahan dan agraria tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa reformasi sistem pendidikan. Krisis multidimensi yang melanda negara dan bangsa Indonesia dewasa ini, tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi, sosial dan politik, melainkan juga oleh krisis pada sistem pendidikan nasional.
            Upaya pemerintah memberikan bantuan darurat dalam bentuk materi baik melalui program “jaring pengaman sosial” maupun melalui proyek “Padat Karya” ternyata belum mampu memberdayakan masyarakat miskin secara maksimal. Tentu saja masyarakat lapisan bawah sangat memerlukan bantuan semacam ini. Akan tetapi, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya tersebut masih sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bantuan yang seharusnya menjadi porsi dan hak masyarakat lapisan bawah justru sebaliknya kadangkala dinikmati mereka yang tidak berhak.
            Pola partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan seharusnya memang bukan pola yang bersifat top-down intervention yang terkadang mengandung nuansa kurang menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. Akan tetapi yang relatif lebih sesuai dengan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang di dalamnya ada nuansa penghargaan dan pengakuan bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha pendidikan dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
            Bagaimana peran partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan formal dan nonformal untuk melahirkan SDM yang berkualitas tentu saja menjadi pekerjaan rumah semua pihak.
            Masalahnya adalah bagaimana pemerintah menjadi motivator dan akselerator yang baik bagi tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan milik masyarakat sehingga mampu menjadi daya dukung pembangunan SDM yang berkualitas.
             Pada tataran ini pula, pemerintah harus mendorong secara maksimal agar masyarakat mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik, yang didalamnya terdapat tujuan mulia untuk mengubah perilaku masyarakat, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan menjadi seorang insan yang utama .
b.      Peran di Bidang Ekonomi
            Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah petani dan buruh. Ironisnya, sejumlah besar petani kita, bekerja dan hidup di atas lahan yang bukan milik mereka sendiri. Mereka yang merasa “memiliki” lahan pun kadangkala tanpa hak kepemilikan yang resmi. Legalisasi serta sertifikasi tanah yang ada baru mencakup sebagian kecil dari lahan yang diolah para petani. Di tengah kondisi itu, pemerintah belum mengupayakan perbaikan maksimal nasib para petani. Wajarlah ketika akhirnya di Jawa Tengah para petani yang kecewa kepada pemerintah membakar gabah yang merupakan hasil panen dari kerja keras dan banting tulang mereka selama ini.
c.       Peran di Bidang Politik
            Pada dataran konseptual, banyak pihak yang menyangka bahwa politik pada dasarnya adalah hal yang hanya berurusan dengan kekuasaan. Padahal secara substansial, politik sebenarnya menyangkut juga kehidupan manusia secara luas. Makanya dalam kehidupan praktis, kita menjumpai istilah politik ekonomi, politik pendidikan serta istilah politik lain yang dihubungkan dengan persoalan yang terjadi. Namun begitu, dalam konteks pembicaraan politik saat ini, kita akan memfokuskan pada dua hal pembahasan.
            Pertama, politik yang kita maknai sebagai wahana (arena) perjuangan tempat elemen dalam masyarakat bersaing mendapat porsi dalam kekuasaan yang ada dalam bentuk institusi legislatif dan eksekutif yang adadi berbagai tingkatan. Kedua, ketika masalah pertama tadi telah dilampaui, maka keadaannya menjadi bergeser ke dalam manajemen kekuasaan tersebut. Secara substansi harusnya kekuasaan mampu memberikan jawaban kepada publik, akan diarahkan kemana kekuasaan yang telah diraih.
            Secara ideal, siapapun yang pada akhirnya berkuasa secara syah sekaligus secara legal formal aturan demokrasi bisa terpenuhi harusnya mengarahkan kekuasaan yang ada pada pencapaian sebesar-besarnya bagi pengurusan kepentingan masyarakat. Secara spsifik berarti memperbesar legitimasi dan fokus awal (yang ada pada kelompok atau elemen pendukung awal; bisa berupa satu partai atau gabungan) untuk sanggup melintasi tujuan bersama yang lebih baik, yakni menuju masyarakat berkualitas yang dalam kehidupannya tercipta keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan.
             Masyarakat yang dalam hidupnya pula tercipta rasa aman, damai sentausa, tanpa takut pada tekanan atau intimidasi pihak lain.
Untuk mewujudkan hal yang seperti di atas, pada dasarnya di masyarakat sendiri sebenarnya telah terbangun sendi-sendi kehidupan yang mengarah ke sana. Di tengah masyarakat pula, kita saksikan ada banyak tokoh masyarakat, baik yang berlatar belakang tokoh agama (kyai, ulama atau ustadz), tokoh sosial, aparat pemerintahan maupun para pemimpin informal lainnya yang selalu saja akan segera sigap membantu penyelesaian masalah begitu terjadi kesalahpahaman atau persoalan-persoalan lain yang terjadi di tengah masyarakat. Potensi inilah yang secara khusus harus kita syukuri, mengingat perselisihan pandangan atau perbedaan politik seperti apapun yang terjadi di masyarakat kita, akan segera selesai ketika para tokoh masyarakat sedera ikut serta membantu penyelesaian masalah yang terjadi.
d.      Peran di Bidang Sosial Budaya
Karya sastra dan kesenian yang tumbuh di tengah masyarakat ternyata kadangkala mampu membuat banyak orang terpengaruh, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pengaruh ini, baik sebatas visi dan pandangan hidup atau malah pada perilaku keseharian. Dengan begitu kesan yang mungkin ditimbulkan oleh sebuah produk kesenian haruslah mampu terkontrol. Artinya, seni dan produk berkesian secara ideal seyogianya berada dalam koridor tatanan normatif yang mampu menjembatani kebebasan berekspresi dan etika yang berlaku di tengah masyarakat. Ini haruslah dilakukan, mengingat Indonesia adalah negara yang secara nyata menjadikan dasar-dasar kehidupan masyarakatnya berada di atas landasan moral dan spiritual yang baik. Jika tidak terjadi keseimbangan seperti itu, maka dikhawatirkan akan terjadi polemik berkepanjangan tanpa penyelesaian. Ini terjadi sebagaimana pada beberapa waktu yang lalu, yang dimungkinkan karena berbedanya cara pandang terhadap seni dan produk kesenian yang ada di tengah masyarakat.
e.       Peran di Bidang Mental Spiritual (Keagamaan)
            Untuk meningkatkan kehidupan keberagamaan masyarakat, diperlukan sistem yang tepat, terpadu dan sistemik. Untuk membangun hal tersebut, tentu saja pemerintah tidak bisa berdiri sendiri, diperlukan peran masyarakat yang lebih luas. Pendidikan agama yang selama ini berjalan tentu saja tidak akan memadai untuk sekedar memahamkan orang.
Dan memang, pendidikan agama bukanlah segala-galanya, tetapi ia lebih sebagai stimulan untuk mengembangkan pendidikan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Kita semua mengetahui bahwa dinamika pendidikan yang terjadi berjalan sangat cepat, sementara perbaikan sistem yang bisa dilakukan terbatas dan butuh waktu yang tidak sedikit. Dinamika ini pula kadangkala tidak bisa direspon sesegera mungkin secara cepat. Oleh karena itu, kerjasama mutlak diperlukan oleh semua pihak. Tidaklah cukup kalau hanya dilakukan kerja-kerja yang sifatnya parsial. Maka dibutuhkan upaya pendidikan agama secara terpadu untuk menutupi kebutuhan ini.

f.        Peran di Bidang Keamanan, Ketertiban dan Keindahan
            Orang barat seringkali mengatakan Indonesia is a violent country. Itulah kata-kata penyunting Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad ketika memberi pengantar sebuah buku yang berjudul Roots of Violence in Indonesia (menelusuri akar-akar kekerasan di Indonesia). Mereka dalam buku tersebut mengatakan bahwa geneologi kekerasan itu sendiri ternyata berakar cukup kuat di Indonesia. Terutama sejak jatuhnya rezim orde baru. Kekerasan menurut mereka seperti menjadi ritualitas masyarakat Indonesia yang diproduksi dan direproduksi kembali. Kekerasan bulan Mei, Situbondo, Sambas, Ketapang, Sampit, Maluku, dan seterusnya, cukup jelas menunjukkan bahwa Indonesia menurut mereka adalah violent country.
Teori Pembangunan adalah serangkaian teori yang digunakan sebagai acuan untuk membangun sebuah masyarakat. Ide tentang pentingnya perhatian terhadap teori pembangunan pada awalnya muncul ketika adanya keinginan dari negara-negara maju untuk mengubah kondisi masyarakat dunia ketiga yang baru merdeka yang menurut negara maju masih miskin dan terbelakang. Ada tiga Teori Pembangunan antara lain; Teori Modernisasi, Teori Ketergantungan (Dependensi), dan Teori Sistem Dunia (World System Theory).
Teori mainstream merupakan teori modernisasi yang lahir pada abad ke-20, sekitar tahun 1950-an di Amerika Serikat. Teori mainstream atau teori modernisasi adalah teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat di dalam negara yang bersangkutan. Sedangkan, teori dependensi secara gasir besar adalah suatu keadaan dimana keputusan-keputusan utama yang mempengaruhi kenajuan ekonomi di negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar negara yang bersangkutan.teori ini muncul di Amerika Latin.

BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN

            Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1.   Peranan pemerintah desa dalam menungkatkan partisipasi masyarakat bagi terlaksananya pembangunan sudah berperan dengan baik dalam rangka mengimplementasikan kebijakan sehubungan dengan peningkatan partisipasi masyarakat.
2.   Kemudian dilihat dari segi kemampuan pemerintah desa dalam menggerakkan partisipasi masyarakat sudah mampu, sesuai dengan informasi yang ada.
3.   Terdapat beberapa faktor penghambat, namun hal yang demikian masih dapat diantisipasi oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah kepala desa atau dengan sebutan lain hukum tua lewat motivasimotivasi yang disampaikan langsung serta selalu meningkatkan efektifitas kerja dan setiap aparatur pemerintah.

4. Dalam pelaksanaan tugas pemerintah sebagai administrator dalam bidang pembangunan dan kemasyarakatan sudah dapat dikategorikan berhasil, karena para pemerintah desa dan aparatur pemerintah sering terjun langsung ke lapangan untuk memantau ataupun untuk mengawasi langsung setiap kegiatan pembangunan yang sementara dilaksanakan.
            Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol Otonomi Daerah:
1.      Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.
2.      Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
3.      Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
4.      Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
Upaya Yang Menurut Saya harus Dilakukan Pejabat  Daerah Untuk Mengatasi Ketimpangan Yang Terjadi :
1.      Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah.
2.      Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3.      Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur.
4.      Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.
5.      Dan yang paling penting pejabat harus tahu prinsip-prinsip otonomi.
            Memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam proses pemberdayaan masyarakat: kemandirian, partisipasi, pendekatan kelompok, upaya yang terarah dan lain sebagainya; maka tujuan dari proses pemberdayaan masyarakat tidaklah jauh dari proses yang bertujuan untuk mencapai eksistensi masyarakat; yaitu : perubahan terencana, transformasi struktural, otonomi dan berkelanjutan. Sayangnya, nilai-nilai tersebut belum nampak nyata di masyarakat yang merupakan subyek dan obyek proses pembangunan.
             Hal tersebut lebih disebabkan ketidakmampuan pemerintah dan pihak swasta dalam mengelola masyarakat dibandingkan kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Respon masyarakat yang muncul kemudian adalah dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang merupakan wujud proses interaksi evolusif dan bersifat natural untuk meningkatkan taraf hidupnya.
            Ketidakmampuan pemerintah dan pihak swasta dalam pelayanan publik – ternyata – juga diendus sebagai peluang oleh sebagian masyarakat lainnya dengan mendirikan Organisasi Non-Pemeintah (ORNOP) atau Non-Governmental Organization (NGO). Dengan berbagai macam latar dan visi-misi yang berbeda, sebagian besar Ornop di Indonesia – yang beroposisi terhadap pemerintah dan mempunyai jaringan kerjasama dengan lembaga donatur internasional – menjadi lembaga pelayanan publik alternatif dengan mengusung konsep besar demokrasi dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
            Keberadaan LSM dan NGO sebagai lembaga pelayanan publik di dalam suatu masyarakat mempunyai kesamaan dalam hal tujuan umumnya, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui proses pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, diantara kedua lembaga tersebut juga mempunyai perbedaan dalam banyak hal yang disebabkan oleh prebedaan “siapa” dan berposisi sebagai “apa” yang kemudian akan menentukan “bagaimana” langkah yang akan ditempuh dalam mencapai tujuannya. Di samping itu, penghargaan atas hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan merupakan syarat mutlak tercapainya eksistensi masyarakat melalui proses pemberdayaan masyarakat.
      Peranan Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat meliputi 3 hal yaitu pembinaan masyarakat, pelayanan terhadap masyarakat dan pengembangan terhadap masyarakat. Ketiga variabel tersebut telah berjalan secara maksimal. Pembinaan terhadap masyarakat meliputi kegiatan keagamaan, kegiatan sosial budaya dan pelayanan kesehatan, Pelayanan masyarakat meliputi pelayanan di bidang pertanian, kesehatan dan perekonomian, sedangkan pengembangan masyarakat lebih banyak difokuskan pada pengembangan SDM melalui pembangunan infrastruktur baik formal maupun non formal, termasuk pula diantaranya pengembangan ekonomi kerakyatan.
                        Faktor-faktor penghambat pengembangan organisasi pemerintahan Desa Sederhana yang dapat diidentifikasi meliputi 2 (dua) faktor yaitu faktor internal terdiri dari aspek sumber daya manusia atau aparat pelaksana yang masih kurang baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Ketersediaan sarana dan prasarana kerja yang belum memadai, rendahnya kualitas SDM aparat pemerintah desa yang rata-rata hanya tamat sampai tingkat SMA, faktor pendanaan yang tersedia bagi organisasi bersangkutan yang masih minim untuk dapat digunakan dalam pengelolaan organisasi serta sikap kepala desa yang terkesan lebih mementingkan orang lain  bila terdapat proyek untuk pembangunan desa, Sedangkan faktor eksternal yang menjadi penghambat adalah partisipasi masyarakat dalam mentaati aturan Desa Hubungan antar status. Secara umum dapat dikatakan bahwa status bergantung pada seberapa besar seseorang memberikan sumbangannya bagi terciptanya tujuan seseorang yang memberikan jasa terbesar cenderung berusaha mendapatkan status yang tinggi. Sebaliknya seseorang yang memberikan jasa yang tidak begitu besar biasanya bersedia menerima status yang lebih rendah
Kebijakan perencanaan pembangunan desa merupakan suatu pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan di desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
Pembangunan Masyarakat Desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa),
Fisik (raga), intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi pencapaian objektif dan target pembangunan desa pada dasarnya banyak ditentukan oleh mekanisme dan struktur yang dipakai sebagai sistem pembangunan desa.
Pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup.
Melihat beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan pedesaan memang sangat penting.Dengan melakukan berbagai progam yang mengutamakan kepentingan masyaraka.Hal ini, menjadikan masyarakat lebih sejahtera dan makmur serta menjadikan bangsa Indonesia mempunyai kekuatan yang tangguh karena pembangunan desa yang merata dengan berbagai macam strategi yang mendukung progam pembangunan pedesaan.Investasi prasarana pun menjadi prioritas utama yang memobilitasi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat pedesaan.
Seperti yang kita ketahui bahwa sejak dahulu kala sampai sekarang desa merupakan dan tetap berfungsi sebagai tulang punggung kehidupan social politik Indonesia.Maka dari itu, sangatlah penting pembanguna desa dalam kondisi sekarang ini.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat.
Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.   Peranan pemerintah desa dalam menungkatkan partisipasi masyarakat bagi terlaksananya pembangunan sudah berperan dengan baik dalam rangka mengimplementasikan kebijakan sehubungan dengan peningkatan partisipasi masyarakat.
2.   Kemudian dilihat dari segi kemampuan pemerintah desa dalam menggerakkan partisipasi masyarakat sudah mampu, sesuai dengan informasi yang ada.
3.   Terdapat beberapa faktor penghambat, namun hal yang demikian masih dapat diantisipasi oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah kepala desa atau dengan sebutan lain hukum tua lewat motivasimotivasi yang disampaikan langsung serta selalu meningkatkan efektifitas kerja dan setiap aparatur pemerintah.

4. Dalam pelaksanaan tugas pemerintah sebagai administrator dalam bidang pembangunan dan kemasyarakatan sudah dapat dikategorikan berhasil, karena para pemerintah desa dan aparatur pemerintah sering terjun langsung ke lapangan untuk memantau ataupun untuk mengawasi langsung setiap kegiatan pembangunan yang sementara dilaksanakan.

            Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Siahaan (Ningsih, 2005) yang menjelaskan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk berdiri sendiri atau menggali potensi-potensi yang ada pada dirinya, agar tidak tergantung pada orang lain, baik dalam merumuskan kebutuhan-kebutuhannya, maupun dalam mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapinya serta bertanggung jawab dan berdiri sendiri. Dikemukakan pula oleh Conell (Hendriyani, 2005) bahwa “autonomy is experience of choice in the intuition, maintenance and regulation of behaviour and the experience of connectedness between one’s action and personal goa ls and values”.
            Dengan adanya kesempatan untuk mengawali, menseleksi, menjaga dan mengatur tingkah laku, menunjukan adanya suatu kebebasan pada setiap individu yang mandiri untuk menentukan sendiri perilaku yang hendak ia tampilkan, menentukan langkah hidupnya, tujuan hidupnya dan nilai-nilai yang akan dianut serta diyakininya. Lerner (Budiman, 2006) memberikan konsep mengenai kemandirian, yaitu mencakup kebebasan untuk bertindak, tidak bergantung kepada orang lain, tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur kebutuhan sendiri.
             Konsep yang diberikan oleh Lerner ini hampir senada dengan yang diajukan Watson dan Lindgren (Budiman, 2006) bahwa kemandirian ialah kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, gigih dalam usaha, dan melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Dengan kata lain kemandirian tersebut merupakan kemampuan dalam mengelola diri sehigga ia mampu mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
            Dinyatakan pula oleh Steinberg (1993) bahwa kemandirian adalah kemampuan individu dalam mengelola dirinya sendiri.Individu yang mandiri menurut Steinberg adalah individu yang mampu mengelola dirinya sendiri. Steinberg (1993) mengemukakan ada tiga aspek kemandirian yaitu :
1. Emotional autonomy, mengacu kepada tidak melihat orang dewasa sebagai orang yang serba tahu, tidak bergantung pada orang dewasa, individuated dengan pertimbangan sendiri
2. Behavioral autonomy, perubahan kedekatan emosional; yakni mampu membuat keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri, mencapai keputusan yang bebas, berfikir semakin abstrak
3. Value autonomy, ditandai dengan mengemukakan pendapat benar-salah, penting dan tidak penting, keyakinan pada prinsip ideologi, keyakinan pada nilai-nilai sendiri. Konsep kemandirian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep Steinberg (1993) yang dalam tulisannya menggunakan istilah autonomy.Menurutnya individu mandiri adalah individu yang mampu mengelola dirinya sendiri (self governing person).
            Kemampuan dalam mengelola diri sendiri ini ditandai dengan kemampuannya untuk tidak bergantung kepada dukungan emosional orang lain terutama orang tua, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan mampu menerima akibat dari keputusan secara mandiri dan mampu menerima akibat dari keputusan tersebut, serta memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta tentang penting dan tidak penting (Steinberg, 1993).
             Individu yang memiliki kemandirian akan dapat menentukan pilihannya sendiri tanpa dibingungkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar dirinya, dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
            Pengertian tentang kemandirian yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh dan pakar tersebut, dapat diambil intisarinya bahwa istilah kemandirian diartikan sebagai kemampuan untuk mengatur dan menyeleksi tingkah laku, membimbing keputusan serta berani bertanggung jawab atas keputusannya itu.
            Secara singkat dapat terlihat bahwa substansi kemandirian yaitu kemampuan :
1. Menseleksi, mengatur dan mengelola setiap tindakannya
2. Mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
3. Percaya pada diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya, dan
4. Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
                  Pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten harus meminimalisir fungsi memerintah untuk kemudian secara tegas dan jelas lebih mengedepankan fungsi melayani dan memberikan fasilitas pada usaha-usaha pemberdayaan masyarakat.
      Pada hampir daerah kabupaten di Indonesia ada beberapa fenomena kultural-politis, yang harus dicermati karena potensi besar menjadi kendala pelaksanaan otonomi daerah.Untuk itu, pemerintah daerah seharusnya konsisten untuk mengikuti perubahan paradigma pemerintahan dalam melaksanakan setiap kebijakan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
      Tekad ini seharusnya terwujud dalam segala bidang dan diupayakan seoptimalkan mungkin agar bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat daerah mau mewujudkan misi otonomisasi yaitu keadilan dan kesejahteraan masyarakat daerah.
      Menurut UU Nomor 22 tahun1999, Otonomi daerah diselenggarakan atas dasar prinsip demokratisasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, dengan tetap memperhatikan keanekaragaman dan potensi daerah.
      Pengaturan dan pengelolaan keuangan daerah harus didasarkan pada perimbangan keuangan pusat dan daerah yang berwujud pada sumber pendapatan daerah dan dana perimbangan.
      Ada kecenderungan kuat bahwa di sebagian kalangan Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Propinsi untuk bersikap setengah hati dalam menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten. Keengganan ini akan berdampak pada proses pengalihan dan penyerahan kewenangan terutama secara psikologis birokratis, sehingga proses penyerahan kewenangan akan berlarut-larut dan mengulur jadwal pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten.
      Sementara itu, bagi masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga masyarakat akan memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Penyelenggaraan pemerintah di daerah merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut.
      Pelaksanaan otonomi daerah mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, meski baru berjalan sekitar sebelas tahun, pelaksanaan otonomi daerah telah membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Sebagai upaya konstruktif untuk pemerataan pembangunan daerah, maka diharapkan pembangunan desa bisa lebih maju dan lebih merata, sehingga tidak kalah dari kota.
      Percayalah, Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak akan mampu mengurus Indonesia yang sangat luas, karenanya, serahkan sebagian kewenangan kepada kepala daerah untuk membangun dan menciptakan kesejahteraan warga di daerah. Memang benar, otonomi daerah menciptakan raja-raja kecil didaerah yakni Gubernur, Walikota dan Bupati, namun raja yang dipilih secara demokratis untuk ikut menciptakan daerah otonom yang maju, sejahtera dan agamis di masing-masing daerah.
      Adanya gejala yang cukup menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh kebijakan pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi pemerintah.
      Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan pelaksanaan otonomi justru ketika saat ini pemerintahan daerah di Kabupaten dituntut kepeloporannya untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi itu sendiri.Sedangkan, pelaksanaan otonomi daerah dengan azas desentralisasi diharapkan mambawa implikasi luas pada masyarakat daerah ke arah yang lebih baik.
      Implementasi Otonomi seharusnya dapat mewujudkan kemandirian daerah, munculnya prakarsa daerah menghargai keanekaragaman dan potensi daerah.Sedangkan implementasi desentralisasi adalah tumbuhnya partisipasi masyarakat, adanya transparansi dan akuntabilitas kebijakan publik, dan penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan secara demokratis.
      Dengan mengacu pada target implementatif pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di atas maka, Pemerintah Kabupaten bisa menempuh langkah-langkah alternatif yakni mengubah dan membangun kualitas sikap dan mentalitas aparatur.
       Pemerintah Kabupaten, mengembangkan tradisi pemerintahan demokratis yang partisipatif, transparan dan akuntabel, menggalakkan dan menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan otonomi daerah melalui kegiatan deseminasi dan sosialisasi terpadu di berbagai kalangan masyarakat, menumbuhkan prakarsa masyarakat untuk menuju kemandirian daerah, mengelola dan memelihara keanekaragaman masyarakat daerah dan mendayagunakannya sebagai salah satu modal pembangunan serta menggali, mengelola dan mendayagunakan potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
      Dilain pihak, kesiapan pemerintah kabupaten untuk segera menyelenggarakan kewenangan pemerintah sering terhambat oleh dirinya sendiri, dimana banyak kabupaten yang kurang memiliki sumber daya, atau kurang memiliki data tentang sumber daya dan potensi daerah.
      Masih sedikit kabupaten di Indonesia yang mempunyai sumber data yang lengkap dan aplikatif serta kurang diolah dan disajikan dan bahkan jarang dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan daerah, sehingga banyak yang tidak relevan dan realistik.
      Oleh karena itu, akan manjadi salah satu tolok ukur kualitas pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan pemerintah pada bidang-bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
      Salah satu sisi kebijakan sentralistisme kekuasaan adalah kebijakan penyeragaman (uniformitas) pada semua bidang kehidupan masyarakat.Penyeragaman ini telah melumpuhkan semua sendi keanekaragaman daerah.
      Akibatnya banyak potensi yang tertutup dan tidak bisa berkembang dengan baik.Padahal salah satu kunci penting otonomi daerah. Dengan konteks kultur uniformitas ini pelaksanaan otonomi daerah akan menghadapi tantangan yang berat dalam upaya penggalian dan pertumbuhan keanekaragaman dan potensi daerah.
      Sentralistik telah merenggut hampir semua kekuasaan pemerintah hanya pada pusat.Daerah tinggal memiliki kewenangan yang sedikit dan sekedar menjadi pelaksana kebijakan pusat.Daerah memiliki ketergantungan yang amat penting dengan pusat.
Kebijakan otonomi mencoba membalik semua hal diatas. Tentu saja karena sudah berlangsung sangat lama, maka upaya tersebut akan memerlukan waktu yang cukup panjang, tidak bisa serta merta.
       Adalah jenis kewenangan yang penyelenggaraannya disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan masyarakat daerah.Jenis kewenangan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah atau untuk mempercepat pertumbuhan daerah.Untuk menyelenggarakan kewenangan ini kabupaten harus mengukur kemampuan sumber daya.
      Jika kabupaten kurang mampu untuk menyelenggarakan sendirian, maka perlu merintis kerjasama dengan kabupaten lain. Kerjasama antar kabupaten hendaknya lebih diprioritaskan karena dari sisi birokrasi pemerintahan lebih efisien dan akan mendorong kemandirian daerah kabupaten.
      Untuk menetapkan kewenangan-kewenangan selain kewenangan wajib dan prioritas, maka pemerintah kabupaten tidak perlu tergesa-gesa.
 Penetapan penyelenggaraan kewenangan nantinya akan berhubungan dengan perkembangan dan tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian maka penetapan penyelenggaraan kewenangan pemerintah kabupaten akan lebih dinamis dan relevan.
      Berdasarkan kebijakan pokok dan penetapan penyelenggaraan kewenangan kabupaten, disusun kedudukan, tugas, susunan dan tata kerja organisasi daerah kabupaten yang merupakan perangkat daerah dalam rangka memantapkan dan melaksanakan program kerja.
      Ada permasalahan yang kompleks dalam kaitannya dengan organisasi perangkat daerah terutama implikasi personalia dan pembiayaan serta efektivitas dan efisiensinya.
Belum lagi kompleksitas yang diakibatkan terjadi eksodus "orang pusat" ke daerah. Oleh karenanya proses penyusunan organisasi daerah harus benar-benar jernih, transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.
2.      SARAN
Upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kepala Desa terhadap pengembangan organisasi pemerintahan Desa Sederhana dari hasil temuan penelitian dapat direkomendasi saran untuk peningkatannya sebagai berikut:
1.   Masih perlu dilakukan sosialisasi oleh aparat pemerintah Desa mengenai pentingnya pengembangan organisasi terutama bagi masyarakat yang berdomisili di Desa tersebut.
2.   Peranan  Kepala Desa terhadap pemberdayaan masyarakat pemerintah Desa Sederhana Kecamatan Khusus Kabupaten Umum hendaknya dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
3.   Perlu dilakukan pengawasan yang secara rutin terutama terhadap kegiatan masyarakat yang menunjukkan adanya kegiatan pembangunan.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat.
Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
Faktor tradisi masyarakat yang ada di tengah-tengah masyarakat memang selalu ada seperti berpesta, hidup boros, dalam melakukan hal-hal  yang kurang berguna maupun dalam menghargai waktu yang terus berjalan dan terus berlalu itu namun hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan kepada masyarakat setempat untuk berbuat atau melakukan suatu karya atau apapun yang menurut mereka berguna bagi diri mereka sendiri maupun untuk keluarga bahkan untuk lingkungan mereka.
 Memang kebiasaan-kebiasaan seperti itu sangat sulit untuk kita rubah karena sudah tertanam dalam jiwa mereka, tinggal bagaimana pemerintah desa dapat memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dan apabila terdapat hal-hal yang positif atau faktor tradisi-tradisi positif masyarakat seperti kemauan masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif, maka pemerintah desa dapat memanfaatkan potensi tersebut untuk menunjang keberhasilan kepemimpinannya serta dapat menggerakkan partisipasi masyarakat dalam setiap pelaksanaan pembangunan.

Sistem ekonomi di Indonesia pada masa sebelum orde baru menunjukkan pembangunan dalam segala bidang, namun dalam kenyataannya perekonomian Indonesia malah semakin parah karena KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Ditinjau pada masa sekarang Indonesia sistem pembangunan di Indonesia tidak bisa terlepas dari ketergantungan dari negara lain. Seperti bahan bakar minyak bumi yang mana Indonesia masih belum bisa mengelolah minyak bumi sendiri.
                                       DAFTAR PUSTAKA
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta, Rhineka Cipta.
Arifin Nor H.M. 1997, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta, Pustaka Setia
Cohen Bruce J. 1983, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Bina Aksara
Craib Ian. 1986, Teori-Teori Sosial Modern; Dari Parson sampai Habermas, Jakarta, Rajawali Pers.
Giddens Anthony dan David Held, 1981, Pendekatan Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik; Teori Sosial Kontemporer, Jakarta, Rajawali Pers.
Kasryno Faisal dan Yoseph F. Stepanek, 1985, Dinamika Pembangunan Pedesaan, Jakarta, PT. Gramedia.
Koentjaraningrat, 1982, Masalah-Masalah Pembangunan; Bunga Rampai Antropologi Terapan, Jakarta, LP3ES.
Laeyendecker L. 1991, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan; Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Long, Norman, 1987, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta, Bina Aksara.
Mubyarto dan Sartono Kartodirdjo, 1988, Pembangunan Pedesaan Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar